Dijelaskannya, Kelompok Tani Sindang Panon merintis kebun teh organik sejak 2014. Diperlukan waktu minimal lima tahun agar kebun tersebut bisa mendapatkan sertifikat organik.
“Teh putih organik kami sudah diekspor ke Korea dan Belanda. Dan beberapa Tea House di Jakarta dan Bandung menjadi pelanggan tetap kami,” ucapnya.
Apud tak memungkiri jika saat ini pihaknya mengalami kendala terkait pemasaran. “Maka dari itu, pihaknya mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah untuk ikut mempromosikan teh organiknya,” kata Apud.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Ir H Agus R Suherlan MM menyebutkan, pemerintah daerah telah melakukan pendampingan sejak awal pembibitan hingga pemasaran.
“Kami telah menerapkan good agriculture service. Mulai dari pembenihan, pemupukan hingga pascapanen seperti teknik pemetikan, pengolahan hasil panen, pengemasan dan pemasaran,” ucap Agus, Selasa (28/1).
Untuk pemasaran teh organik, termasuk di dalamnya teh hijau, teh gelang dan teh putih, kata Agus, bisa menerapkan sistem pemasaran Manggis.
“Misal kebunnya diregistrasi pun halnya dengan eksportirnya. Jadi nyambung, mata rantai pemasaran yang panjang bisa dipangkas. Jadi mudah pula komunikasinya,” kata Agus.
Selain itu, sambung Agus, harus diperhatikan pula kuantitas dan kontinuitasnya. “Dengan kata lain, produknya harus selalu ready dan mampu memenuhi permintaan pasar,” ujarnya.
Bupati juga, kata dia, sudah membuka peluang, salah satunya dengan menggandeng Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Purwakarta.
“Diperhatikan pula kemasan atau package-nya. Ini bisa dikerjasamakan dengan Dinas Perdagangan,” kata Agus.(*/vry)