Untuk apa?
Lantas ada yang bertanya: apakah gerangan cita-cita saya.
Saya agak gagap menyawabnya.
”Saya ini merasa beruntung karena tidak pernah punya cita-cita.”
Ah, masaaak…
Ups… Mungkin punya juga. Tapi derajatnya di bawah cita-cita. Hanya sebatas keinginan.
”Cita-cita itu untuk dicapai”.
”Keinginan itu untuk diharap”.
Mungkin karena keluarga saya sangat miskin, di lingkungan tetangga yang miskin dan di desa yang miskin, di kecamatan yang miskin.
Rasanya hidup itu tidak layak kalau harus punya cita-cita. Topik cita-cita tidak pernah dibicarakan di desa saya dulu. Dan itu bukan topik sama sekali.
Baca Juga:Bupati Subang Serahkan 1 Ton Gabah untuk Petani Wanareja yang Gagal PanenProgram Pensiun PNS Dialihkan ke BPJAMSOSTEK
Topik di lingkungan seperti itu hanyalah bagaimana bisa hidup besok pagi. Termasuk harus utang beras ke tetangga yang mana lagi.
Keinginan saya waktu kecil pun hanyalah bagaimana bisa tidak sekolah. Kadang saya memang berangkat ke sekolah. Tapi di tengah jalan belok ke sungai. Mencari ikan.
Keinginan naik kelas pun tidak pernah ada. Dan saya pernah tidak naik kelas. Saya gagal naik dari kelas 3 ke kelas 4 Muallimin (sebelum akhirnya dipisah menjadi Tsanawiyah dan Aliyah).
Waktu SMA (Aliyah) barulah saya punya keinginan: untuk punya sepatu. Bekas pun sudah sangat membahagiakan. Saat itu saya satu-satunya yang tidak pakai sandal atau sepatu di kelas SMA itu.
Di kelas 2 Aliyah sepatu itu terbeli. Bekas. Bagian depannya sudah berlubang. Saya hanya berani memakainya seminggu sekali. Tiap hari Senin saja. Agar tidak cepat rusak.
Tiap hari Senin memang ada upacara bendara. Saya sesekali harus menjadi komandan upacara. Itu pun sudah membuat tumit lecet.
Setahun kemudian barulah punya keinginan lanjutan: memiliki sepeda. Yang minimalis sekali pun. Yang penting ada roda, rantai, sadel dan stangnya.
Itu pun baru tercapai setelah di akhir tahun kelas 3.
Baca Juga:Revitalisasi Pasar Pusakajaya Diharapkan Usai Lebaran, Pedagang Tunggu RelokasiKeluarga Besar Seniman Rambut Gelar Konser dan Cukur Amal
Begitulah. Keinginan saya itu datang bertahap. Satu tercapai muncul keinginan berikutnya.
Kian lama keinginan itu datang kian cepat. Levelnya pun kian tinggi. Akhirnya sampai ke langit juga. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.
Apa kelebihan punya keinginan berjenjang?