Oleh: Dahlan Iskan
Sudah empat tahun PT Pengayom Petani Sejagad berdiri. Setiap tahun petani menerima ‘cashback’ dari Pengayom. Bahkan setiap habis panen –kalau setahun bisa panen dua atau tiga kali.
Istilah ‘cashback’ itu hanya dipakai untuk memudahkan petani mencernanya. Padahal itu adalah pembagian laba biasa.
Mengapa pembagian laba itu tidak diwujudkan dalam deviden tahunan? Seperti lazimnya sebuah perusahaan perseroan terbatas?
Baca Juga:Dua Puskemas Terendam Banjir, 7 Pasien Rawat Inap Terpaksa di EvakuasiHotel Penuh di Booikng Peserta dan Juri MTQ
”Agar petani langsung merasakan hasil panen mereka,” ujar Hanjar Lukitojati, direktur Pengayom Petani Sejagad.
Memang PT tani di desa Kebon Agung, Kecamatan Sidoharjo, di pedalaman Wonogiri ini bukan PT biasa.
Kenyataannya PT Pengayom itu seperti gabungan sifat-sifat koperasi, resi gudang, Bulog, dan perseroan terbatas.
Karena itu Hanjar pada dasarnya ingin bentuk lembaga usaha tani ini bukan PT. Tapi juga bukan koperasi dan bukan pula resi gudang.
”Kami awalnya pengin bentuk lembaga ini BUMP, Badan Usaha Milik Petani,” ujar Hanjar.
Tapi UU di negara ini tidak mengenal bentuk badan hukum selain perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan perkumpulan.
Tidak ada lembaga seperti BUMN, BUMD, apalagi BUMP. Semua itu hanya identitas –bukan lembaga badan hukum.
Baca Juga:Maksimalkan 62 Destinasi Wisata, Disporaparbud Kembangkan Potensi Pariwisata125.538 Kendaraan Menunggak Pajak
Karena pilihannya hanya empat itu maka tidak ada yang lebih memberi harapan selain perseroan terbatas.
Itulah hasil penelitian mendalam perkumpulan mahasiswa calon doktor Universitas 11 Maret Solo.
Itu pula tesis desertasi doktor Sugeng Edi Waluyo di Universitas 11 Maret.
Dr Edi lantas mendirikan perkumpulan mahasiswa calon doktor itu. Lalu mendirikan Seknas BUMP –semacam konsultan untuk kelembagaan bidang pertanian.
Seknas itulah yang menjadi pembina di PT Pengayom. Lewat kepemilikan sahamnya yang 5 persen.
”Koperasi sebenarnya baik,” ujar Dr. Edi Waluyo. ”Tapi koperasi sulit bekerja sama dengan partner swasta. Apalagi asing,” tambahnya.
Bukan, koperasinya yang tidak mau, tapi partnernya yang umumnya enggan.
Padahal, untuk bisa tumbuh besar kadang diperlukan partnership.
Belum lagi citra koperasi yang saat ini sudah terlalu terkait dengan instansi pemerintah. Yakni dinas koperasi di daerah. Koperasi juga sudah kurang mandiri. Terlalu tergantung pada bantuan dan fasilitas.