Itu yang tidak akan terjadi kalau bentuknya PT.
Misalnya PT Pengayom di desa Kebon Agung itu. Tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Toh bisa terus berkembang.
Bahkan sudah bisa ekspor beras organik ke Amerika, Singapura, dan Prancis.
Saya sampai membeli beberapa jenis beras produksi PT ini. Akan saya tulis di DI’s Way edisi berikutnya. Kapan-kapan.
Baca Juga:Dua Puskemas Terendam Banjir, 7 Pasien Rawat Inap Terpaksa di EvakuasiHotel Penuh di Booikng Peserta dan Juri MTQ
Memang peralatan di pabrik beras PT Pengayom tidak sehebat yang ada di Bulog. Yang serba impor itu.
”Mesin ini buatan kami sendiri,” ujar Mahmudsyah, staf di PT itu. ”Habisnya tidak sampai Rp 1 miliar. Bisa untuk 6 ton sehari,” tambahnya.
Memang tidak terlihat ada merk asing di mesin penggilingan beras itu. Bahkan tidak ada merknya sama sekali.
Ups… Ada.
Ada gambar tawon di bagian belakangnya. ”Kami beri gambar TAWON. Sekedar agar ada merknya,” ujar Mahmudsyah sambil tertawa.
Tapi diam-diam Mahmudsyah punya ‘dendam’ di balik kata TAWON itu. Ia pun membisiki saya: TAWON itu singkatan Teknologi Anak Wonogiri.
Ia memimpikan suatu saat nanti Pengayom punya divisi teknologi pertanian yang cocok untuk pedesaan.
Di dalam prakteknya, PT Pengayom membeli gabah milik petani pemegang saham. Yakni petani yang menjadi anggota Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan yang menjadi anggota Asosiasi Petani Organik.
Baca Juga:Maksimalkan 62 Destinasi Wisata, Disporaparbud Kembangkan Potensi Pariwisata125.538 Kendaraan Menunggak Pajak
Dua kelompok tani itulah pemegang saham PT Pengayom Petani Sejagad. Asosiasi Petani Organik memegang 50 persen saham, Gapoktan 35 persen, Hanjar 10 persen dan Seknas BUMP 5 persen.
Jauh-jauh hari petani sudah tahu: berapa harga jual gabah ke PT Pengayom saat panen tiba. PT Pengayom lantas mengeringkan gabahnya –masih dengan cara dijemur di lantai. Lalu menggilingnya di mesin Tawon.
Ketika beras itu dijual didapatlah selisih harga. Sebagian laba itu menjadi keuntungan PT Pengayom. Tapi sebagian besar dikembalikan ke petani dalam bentuk –hanya istilah– cashback tadi.
Pernahkah rugi? Hasil jualan berasnya lebih rendah dari hasil pembelian gabah plus biaya pengolahan?
”Tidak pernah. Kami selalu untung. Kadang harus kami tunggu harga baik dulu,” ujar Hanjar yang lulusan Pondok Modern Gontor Ponorogo ini.