Pak Budi punya keinginan menghidupkan kembali tanah mati itu –lewat pupuk kandang dan pupuk cair organik bikinannya.
Waktu itu Hanjar masih sekolah di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Tidak bisa membantu ayahnya merealisasikan ide-ide mulianya itu.
Tapi almarhum menemukan anak muda lulusan STM yang mau dibina. Namanya Harjanto. Waktu tamat STM Harjanto jadi sopir Suzuki Carry. Tugasnya mengantar penumpang bus yang baru turun dari Jakarta untuk ke kampung masing-masing.
Baca Juga:DLH Bandung Barat: UKL dan UPL Noah Park Tidak SahBupati Bandung Barat Ajak Milenial jadi Petani
Zaman itu, kata Harjanto, bisa mengemudikan mobil jadi pujaan gadis-gadis desa. Akhirnya ia kawin dengan gadis Kebon Agung, tetangga desanya.
Tugas Harjanto adalah mencari petani yang mau pindah dari pupuk kimia. ”Sulit sekali. Petani selalu bilang, kalau hasil panennya merosot siapa yang menanggung,” ujar Harjanto.
Akhirnya Pak Budi bikin jaminan. ”Setiap penurunan hasil panen ditutup oleh Pak Budi,” kenang Harjanto.
Didapatlah tiga petani di desa Kebon Agung. Masing-masing punya sawah 3.000 meter persegi. Mereka diajari cara-cara bertani organik.
Misal: sebelum tanah dibajak oleh traktor dihamburi dulu pupuk kotoran sapi.
Hasilnya: panen mereka turun 50 persen.
Biasanya 10 ton tinggal 5 ton.
Pak Budi pun membeli hasil itu dengan harga yang sama dengan 10 ton gabah padi biasa.
Tahun berikutnya bisa naik sedikit. Tahun ketiga baru bisa 8 ton. Pak Budi terus membelinya dengan harga 10 ton gabah biasa.
Delapan ton itulah hasil terbesarnya. Tidak pernah bisa sama: 10 ton.
Baca Juga:Petani KJA Bakal Dirasionalisasi, Citarum Harum Berjalan Hingga 2023Pameran di STS, Daihatsu Hadirkan Program Menarik
Tapi karena harga beras organik 2,5 kali harga beras biasa hasil rupiahnya sudah jauh lebih besar. Saat itulah Pak Budi terbebas dari mensubsidi petani.
Hasil yang nyata itu mulai menarik perhatian petani lain. Anggota petani organik kian banyak.
Tapi Pak Budi keburu meninggal dunia.
Hanjar masih belum tamat sekolah.
”Kegiatan kami sempat terhenti tiga tahun,” ujar Harjanto.
Setelah tamat dari Gontor barulah Hanjar meneruskan rintisan bapaknya. Itu pun harus molor: Hanjar harus mengabdi dulu sebagai guru di Bogor –sesuai doktrin Pondok Gontor. ”Sebenarnya saya sudah mendaftar di IPB, tapi gak jadi. Kegiatan bapak saya sudah vacum terlalu lama,” kata Hanjar.