Oleh: Dahlan Iskan
Mana yang lebih besar: Al Amien Prenduan, Sumenep atau Daar el Qolam Gintung, Tangerang?
Dua-duanya dibangun oleh alumni Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Dua-duanya fastabikul khairat –sampai saya tidak bisa menilai mana yang lebih besar.
Begitu banyak pesantren yang dibangun oleh alumni Gontor. Mengapa bisa begitu?
Baca Juga:Pembunuh Kakak Kandung Divonis 6 TahunTommy Soeharto Investasi Ratusan Miliar Bangun Pasar Modern di Cikampek
Itu lantaran kebijakan pimpinan Gontor sejak dulu: ijazah tidak segera diberikan. Biar pun mereka sudah lulus sekolah 6 tahun di Gontor.
Ada syarat untuk bisa mengambil ijazah itu: mereka harus sudah melakukan pengabdian di masyarakat selama dua tahun.
Ilmu itu harus diamalkan. Pengetahuan yang tidak dipraktekkan ibarat pohon yang meski berdaun tapi tidak berbuah.
Dengan kebijakan itu alumni yang mendirikan pesantren tidak akan sulit mendapatkan guru. Mereka bisa minta ke Gontor. Untuk dikirimi guru-guru pengabdi. Sampai sekolah itu bisa mandiri.
Itu pula yang membuat Ahmad Rifai Arif, alumni Gontor, berani mendirikan madrasah di kampungnya. Yakni kampung Gintung, Tangerang. Dekat perbatasan Banten.
Nama pesantren baru itu Daar el Qolam (artinya: Kampung Pena). Lebih dikenal sebagai Pondok Gintung daripada nama Arabnya.
Ayah Ahmad Rifai memiliki tanah sawah 2 hektare di Gintung. Sang ayah memang petani –yang kalau malam menjadi guru ngaji Alquran.
Baca Juga:Perbaikan Jalan Dikebut, Target Selesai Jelang Bulan RamadanPenanganan Banjir Harus Sistematis, Harus Ada Solusi Jangka Panjang
Sang ayah merasa bangga ketika anaknya lulus dari Gontor. Apalagi ingin membangun sekolah di sawahnya.
Ahmad Rifai memiliki adik bernama Ahmad Sahiduddin.
Si adik tidak ingin ikut jejak kakaknya sekolah di Gontor. Sahiduddin lebih ingin jadi insinyur. Tapi ayahnya minta Sahiduddin sekolah di Gintung saja. Di sekolah yang didirikan kakaknya itu.
Jadilah Sahiduddin murid pertama sekolah kakaknya. Yang kurikulum dan sistem asramanya dibuat persis seperti di Gontor. Termasuk keharusan menguasai bahasa Arab dan Inggris.
Calon insinyur gagal itu pun akhirnya menguasai bahasa Arab dan Inggris. Sang adik rela tidak jadi insinyur untuk memenuhi keinginan ayahnya: ikut jadi kiai seperti kakaknya.
“Akhirnya saya ikhlas tidak jadi insinyur. Ikhlas itu perlu dipaksa. Inilah ikhlas dalam keterpaksaan,” katanya.