Sang ayah seperti sudah tahu kalau anaknya yang sekolah di Gontor itu tidak akan berumur panjang. Maka ketika sang kakak meninggal di usia 50 tahun, sang adik sudah bisa meneruskan kepemimpinan di Gintung.
Termasuk meneruskan kebijakan sang kakak: santri perempuan dan laki-laki dalam satu kelas yang sama. Inilah satu-satunya pondok alumni Gontor yang begitu.
Apakah Gontor membolehkan?
“Kakak saya dulu minta izin ke Gontor. Diizinkan,” ujar Sahiduddin. “Syaratnya kakak saya harus lebih dulu menikah. Agar dalam memperlakukan siswa perempuan bisa adil,” tambahnya.
Baca Juga:Pembunuh Kakak Kandung Divonis 6 TahunTommy Soeharto Investasi Ratusan Miliar Bangun Pasar Modern di Cikampek
Pertimbangan sang kakak, di seluruh Banten, sejak zaman dulu, santri perempuan dan laki-laki sudah di satu kelas.
Sahiduddin adalah contoh “sukses juga bisa diraih di bidang yang bukan impiannya”.
Sejak kecil hati Sahiduddin sudah terpaku di bidang teknik. Waktu kelas 3 SD Sahiduddin sudah mampu membuat mobil. Dalam hatinya itulah mobil terbaik di dunia. Terbuat dari kayu gabus.
Setiap berangkat sekolah buku-bukunya dinaikkan mobil itu. Sebuah tali diikatkan di bagian depannya. Untuk ditarik sejauh 1 Km. Menuju sekolah. Teman-temannya pun menitipkan buku mereka di mobilnya. Menambah kebanggaan hatinya.
“Mobil saya itu truk. Ada bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu,” kata Sahiduddin mengenang masa kecilnya.
Di tangan sang adik Pondok Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare.
Saya mampir ke Pondok Gintung Rabu lalu. Saya ingin tahu seperti apa wujudnya di siang hari.
Baca Juga:Perbaikan Jalan Dikebut, Target Selesai Jelang Bulan RamadanPenanganan Banjir Harus Sistematis, Harus Ada Solusi Jangka Panjang
Tujuh tahun lalu saya sudah ke sana. Tapi menjelang subuh. Setelah salat subuh saya meneruskan perjalanan. Jadi, kalau ditanya Pondok Gintung seperti apa, jawaban saya: gelap sekali.
Ternyata siang harinya sangat indah –untuk ukuran pondok. Luas sekali. Besar sekali. Deretan bangunan bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas. Pepohonannya begitu rindang.
Sosok sang Kiai Sahiduddin ini sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung. Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.
Sang kiai juga tidak mengenakan kopiah atau surban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini.