3. Faktanya yang terjadi bukanlah kuliah online, tapi tugas online.
4. Pengumpulan tugas secara online membuka peluang untuk copy paste semakin tinggi.
5. Mahasiswa menjadi tidak leluasa dalam pembelajaran karena tidak terjadi komunikasi 2 arah antara mahasiswa dengan dosen.
Namun, 10% yang lain merasa bahwa hal tersebut cukup efektif karena mahasiswa dapat mengakases modul perkuliahan dimanapun dan kapanpun, dengan kata lain mereka dapat menyesuaikan jam belajar sesuai dengan keinginan masing-masing.
Baca Juga:Wagub Jabar: Jangan Abaikan Ibadah di Tengah COVID-19Stok Sembako Aman, Ridwan Kamil: Belanjalah Sewajarnya, Secukupnya
Selain itu, mereka merasa bahwa kuliah daring merupakan salah satu tindakan preventif untuk menekan penyebaran covid-19. Dengan demikian, masasiswa dapat melakukan social distance yang mana dapat mengurangi intensitas interaksi antara carier dan calon korban selanjutnya.
Lucunya, waktu luang selama sistem kuliah daring justru disalahgunakan mahasiswa untuk berlibur, padahal sudah banyak himbauan yang menegaskan bahwa tujuan dari kuliah online untuk mengurangi interaksi antar mahasiswa.
Jika sudah seperti ini siapa yang akan disalahkan?
Benar apa yang disampaikan Gubernur DIY, apakah jika sekolah diliburkan, apakah ada jaminan dari orang tuan bahwa anak tidak bepergian ? Jika lockdown, bagaimana rakyat kecil mendapatkan sesuap nasi seteguk air? Apakah pemerintah akan menanggung kebutuhan sehari hari mereka?
Sebenarnya metode yang paling efektif tetaplah perkuliahan face to face secara langsung, akan tetapi jika wabah sudah memasuki stage pandemic maka jenis keefektifan metode perkuliahan sudah bukan lagi menjadi suatu masalah utama, yang terpenting adalah keselamatan orang banyak dan bentuk pertanggung jawaban dari pihak akademika terhadap berjalannya proses perkuliahan.
Sistem kuliah ini hanya menjadi alternative bukan cara regular dan perlu dievaluasi keberlanjutannya. Disisi lain memang ada kelebihannya dan itu yang harus diadopsi.