Kesetaraan gender merupakan ide yang cacat dan irasional. Bagaimana tidak, mereka menafikan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Pada fitrahnya fisik perempuan tidak sekuat fisik laki-laki, namun dengan ide ini perempuan harus menanggung beban ganda. Selain fitrah keibuan (hamil, melahirkan, menyusui), perempuan pun dibebani sebagai breadwinner (pencari nafkah). Pada gilirannya akan menghantarkan pada keretakan keluarga dan hancurnya generasi.
Proyek kesetaraan gender akan mengeliminasi berbagai peran domestik perempuan. Peran sebagai seorang istri dari suaminya, akan terkikis dengan pemahaman kesetaraan gender yang digaungkan Barat. Bagaimana tidak, dengan ide ini seorang istri tidak merasa perlu untuk menaruh hormat kepada suaminya. Maka, ikatan pernikahan bukan suatu hal yang mustahil akan berujung pada perceraian. Bahkan survei membuktikan perceraian kian marak. Begitupula peran seorang ibu dari anak-anaknya. Kesetaraan gender menjadikan ibu lebih sibuk bahkan sebagai breadwinner (pencari nafkah). Lantas siapa yang akan mendidik generasi? Kian hari angka kriminalitas anak pun kian meningkat, bahkan dengan hal yang tidak manusiawi.
Ironi ide kesetaraan gender dengan penghormatan pada perempuan. Di negara-negara Barat pengusung kesetaraan gender garis keras, persentase angka pelecehan seksual terhadap perempuan yang tinggi, seperti: Swedia 81%, Denmark 80%, Prancis 75%, Inggris 68%. Bahkan di Indonesia berdasarkan laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2018 bahwa angka IPG (Indeks Pembangunan Gender) dan IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) mengalami peningkatan dengan sumbangsih pendapatan perempuan. Namun ironi, Indonesia masih menduduki posisi keempat tertinggi Indeks Ketimpangan Gender di antara negara-negara ASEAN. Kesetaraan gender dalam menghormati perempuan jauh panggang dari api.
Baca Juga:KM- Politeknik STTT Bandung Resmi Tunda PemiluCorona, Distance Learning, dan Pendidikan Karakter
Negara dengan tingkat partisipasi perempuan yang tinggi baik dalam ekonomi maupun politik tidak berkorelasi dengan kesejahteraan negara tersebut. Rwanda dengan partisipasi politik perempuan 60% anggota parlemen. Namun, tingkat kemiskinan berkisar 40%. Tidak jauh berbeda dengan kondisi Meksiko dan Afrika Selatan. Kesetaraan gender jelas tidak dapat dihubungkan dengan kemajuan suatu negara.
Terlebih sejumlah buruh perempuan di Indonesia yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FPMI) melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Beberapa poster seperti ‘International Women’s Day 2020: Hapus Diskriminasi PPh 21 – Tolak Omnibus Law – Stop Kekerasan dan Pelecehan dalam Dunia Kerja’; ‘Tolak Omnibus Law: Hak Cuti Haid Hilang, Jakarta Cuti Melahirkan Hilang, Hak Cuti Keguguran Kandungan Hilang, Hak Cuti Menikah Hilang.’ [detiknews.com, 6 Maret 2020]