Oleh: Lukman Enha*
DALAM menghadapi “kegaduhan” dan tuntutan publik atas kebijakan yang tepat, kita melihat Presiden Jokowi sedikit bertransformasi dan mulai matang seperti pendahulu Presiden SBY. Menghadapinya dengan tenang.
Menghadapi bencana Covid-19, Jokowi benar-benar berada dalam situasi yang cukup rumit. Ia menyadari sepenuhnya kondisi ekonomi nasional tidak se-digjaya Malaysia. Pilihan lockdown nasional, akan membuatnya “bunuh diri”. Jelas akan menguliti kondisi ekonomi di eranya ini.
Ia memilih jalan lain: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Makhluk apa pula itu? Ah yang penting bukan lockdown dan karantina. Apalagi sudah ada narasi politik yang lekat dalam dua kata tadi.
Baca Juga:Empat Pejabat Eselon Dua di KBB DirotasiJalan Putus di Kalijati Mulai Diperbaiki
Seakan: narasi “lockdown” milik Anies Baswedan. Narasi “karantina” jadi panggung demonstrasi politik milik kepala daerah. Melalui beragam seremoni penyemprotan itu. Yang jelas melanggar prosedur penanganan Covid-19.
Bukan maksud menganggap enteng pentingnya lockdown, bukan pula mengabaikan saran para pakar virologi, kedokteran, kesehatan masyarakat dst. Bahwa benar lockdown akan mengunci persebaran covid-19.
Tapi mari kita coba lihat causal loop, lingkar saling terhubung di atas segala wabah ini. Bahwa lockdown, karantina dan apa pun, merupakan upaya pembatasan pergerakan orang. Substansinya. Bahwa jelas, covid-19 berdampak pada konstraksi ekonomi. Bisa resesi, depresi, bisa pula krisis berkepanjangan.
Yang terbaru, Menkeu Sri Mulyani memprediksi, jika terus memburuk pertumbuhan ekonomi bisa drop hingga 0,4 persen. Artinya kita bisa jatuh ke lobang krisis seperti tahun 1998.
Maka Jokowi mencoba mengambil langkah kebijakan mendekati substansi. Sambil menghindari ketegangan politik melalui simbolik: lockdown dan karantina. Memilih PSBB yang tetap berada dalam ruang substansi PEMBATASAN. Dilengkapi stimulus pencegahan dampak ekonomi.
Tak lupa, Ia menonjolkan identitas kuat dirinya dalam kebijakan itu. Kebijakan ekonomi representasi rakyat kecil di singgasana raja: kebijakan untuk nelayan, buruh, tukang ojek dst.
Jokowi gratiskan listrik yang menerangi rumah-rumah rakyat miskin: 450 VA selama tiga bulan. Uang bayar listrik bisa untuk beli beras. Sangat bermakna bagi tukang becak, misalnya. Toh, sekolah anaknya sudah libur. Sisanya tentu untuk sembako via PKH, fiskal dan kesehatan. Selain yang cukup heboh yaitu keringanan kredit untuk UMKM.