Para ulama dalam menetapkan hukum fikih tidak sembarangan. Disamping mengikuti maqoosid al-syar’i (tujuan hukum syariat) yakni dikonsep dalam rangka menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, fikih juga dikonsep sesuai dengan prinsip adam al-harji (menghilangkan kesusahan), takliil al-takaalif (menyedikitkan beban) dan al-tadriij fi al-tasyri’ (bertahap dalam penerapannya). Bersandar pada dalil-dalil Al-qur’an dan al-hadits serta landasan konsep dan teori kaidah fikih dan ushul fikih, barulah hukum fikih dirumuskan dan disimpulkan fatwa hukumnya.
Dalam alur logika analitik seperti itulah fatwa fikih shalat Jum’at ketika terjadi darurat wabah virus corona kemarin difatwakan oleh MUI dan ormas Islam lainnya. Karena dasarnya logika fikih, maka wajar bila terjadi beberapa perbedaan dalam kesimpulan hukum yang difatwakannya. Namun memperhatikan konten fatwa, perbedaan itu tidak mencolok. Mayoritas menyepakati perlu adanya perubahan fikih shalat Jum’at karena alasan darurat. Kaidah fikih yang menjadi sandarannya adalah “dar’u al-mafaasid muqoddamun ala jalbi al-mashoolih” (menolak bahaya lebih utama daripada mengambil manfaat).
Perbedaan hanya ada pada teknis fikihnya di lapangan. Seperti misalnya, jika membahayakan jiwa sehingga shalat Jum’at tidak dapat dilaksanakan di mesjid, satu ormas membolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur karena tidak bisa dilaksanakan di rumah mengingat syarat sahnya tidak boleh kurang dari 40 orang. Namun bagi ormas lain yang tidak mensyaratkan berjamaah shalat Jum’at 40 orang, tetap mewajibkan shalat jum’at walaupun dilakukan di rumah, asalkan memenuhi jumlah berjamaah lebih dari satu orang.
Baca Juga:MKKS SMA Negeri Kabupaten Subang Pastikan Pembelajaran di Rumah EfektifBupati Karawang Usulkan Berlakukan PSBB
Logika Aqidah
Repotnya, bagi sekelompok umat, alur logika fikih seperti di atas itu dianggap sebagai bentuk ketidak-istiqomahan dalam beraqidah. Ikhtiar menghindari bahaya virus corona dianggap sebagai ekspresi ketakutan berlebihan yang dapat mengotori keimanan. Bagi kelompok ini, perkara mati dan hidup manusia itu hanya Allah SWT yang berhak mengatur. Tidak boleh ada dzat lain yang ditakuti kecuali Allah SWT, termasuk virus korona. Kasus dikarantinanya 300 jemaah tabligh di Mesjid Kebon Jeruk Jakarta (26/03/20) karena ada 3 orang positif terpapar virus korona, adalah ekspresi aqidah jabariyah (fatalisme) dari sekelompok umat ini.