Oleh: Tiara Maulinda Habibah, S.IP
“Menurut saya, Zaman Kartini dulu ia terkekang oleh tradisi, penjajahan, dan tak punya akses. Tapi pikirannya MERDEKA. Zaman sekarang sebaliknya, kemerdekaan luas, akses terbentang, hak semakin penuh, tetapi banyak perempuan TAK MERDEKA DALAM BERPIKIR.” Butet Manurung.
“Pikiran perempuan sering takluk pada alur mainstream, tuntutan orang lain, bahkan pada pikiran buruknya sendiri. Itu yang harus kita teladani dari Kartini dan kita perbaiki dalam lini masa.” Butet Manurung.
Adik perempuan saya mengirimi gambar berisi petikan kalimat yang diunggah Butet Manurung saat Hari Kartini. Menohok. Menampar saya. Saya perempuan, yang menyia-nyiakan banyak waktu dan terlalu banyak mengeluh mengenai rintangan soal diskriminasi perempuan, segala hal tentang bias gender, sampai menggerutu setiap hari soal beban ganda perempuan (padahal saya salah satu perempuan beruntung, hidup bersama suami yang sikap dan pemikirannya sangat terbuka soal feminisme).
Baca Juga:Dinsos Pastikan Bantuan Berkualitas BaikBantuan Sosial Corona yang Setengah Hati
Dahulu, dalam segala keterbatasannya, Kartini begitu haus akan keingintahuan. Hasrat belajarnya sampai membuat ia memilih untuk memberontak dari segala budaya patriarki yang begitu kental. Awalnya ia jatuh cinta terhadap literasi, lalu ia selalu ingin tahu lebih banyak. Tak ada partner setara yang bisa ia jadikan teman diskusi kecuali sahabat penanya, Nellie van Kol. Keresahan demi keresahan muncul dalam benaknya. Ia ingin punya kesempatan yang sama dengan kakak-kakak lelakinya untuk belajar. Ia ingin semua perempuan, tanpa terkecuali, memiliki akses yang sama untuk belajar. Semua itu tak lebih untuk sebuah cita-cita agar perempuan terdidik dan mempunyai kemerdekaan berpikir. Kartini sudah memulainya.
Lalu, sebagai perempuan yang hidup di tahun 2020. Sudahkah kita memiliki kemerdekaan berpikir? Semakin liar dari apa yang Kartini pikirkan saat itu di tengah adat kolot bangsawan jawa, atau sebaliknya? Ataukah mental berpikir kita malah mengalami kemunduran? Terkungkung ketakutan untuk menerobos alur mainstream, sibuk memikirkan merk lipstik dan bedak apa yang harus dibeli, sibuk memburu diskon produk fashion di toko online. Lupa kalau otaknya, sebagai bagian tubuh yang kata Dian Sastro adalah organ paling seksi untuk dipakai berpikir skeptis dan kritis.