Belum lagi sejak duduk di bangku SMA dan kuliah, perempuan kini malah sibuk memikirkan siapa yang akan menjadi jodohnya dan resah ingin cepat-cepat menjadi pengantin. Otaknya sesak dengan keinginan untuk memenuhi lini masa media sosial dengan foto bridal shower,pre weedding nan mahal sampai resepsi bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Lupa menyisihkan waktu untuk mempersiapkan diri sebagai perempuan merdeka pasca menikah. Lupa bahwa dirinya memiliki banyak sekali potensi lain yang bisa dikembangkan.
Najwa Shihab dalam perbincangannya bersama Agnez Mo di Narasi TV juga menyinggung soal hal tersebut. Banyak perempuan yang tidak menyadari potensinya. Mereka terkadang malah merendahkan diri sendiri dengan ketidakyakinannya terhadap kemampuan yang dimiliki. Padahal perempuan terbiasa bekerja lebih keras dibanding laki-laki. Misalkan untuk mencapai tujuan yang sama, perempuan harus mendobrak sepuluh pintu terlebih dahulu, sedangkan laki-laki hanya perlu mendobrak satu dua pintu.
Dalam hal ini, alih-alih memberikan dukungan, masyarakat malah berdalih bahwa perempuan tak perlu menginginkan pencapaian yang tinggi. Mereka menilai perempuan selalu dibatasi oleh kodratnya. Padahal, sejatinya perempuan hanya memiliki empat kodrat. Yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, perempuan bisa melakukan hal yang sama dengan laki-laki dengan setara.
Baca Juga:Dinsos Pastikan Bantuan Berkualitas BaikBantuan Sosial Corona yang Setengah Hati
Jangankan punya keinginan untuk mengecap pendidikan doktoral atau sekadar menyentuh buku-buku “perawan” di perpustakaan atau duduk di lingkaran diskusi dan mengakses banyak artikel di google. Pernahkah kita bertanya, sampai mana kita memanfaatkan akses yang tersedia, alih-alih membuat dobrakan baru dan mengukir sejarah sebagai Kartini masa kini. Ada perempuan yang sudah melakukan itu. Tapi jika dihitung, perbandingannya tak sebanyak jumlah perempuan yang ada.
Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) kemendikbud tahun 2013 menunjukan, presentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud menilai, persepsi perempuan yang hanya berurusan dengan urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 dan S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi. Kecenderungan tersebut juga ditemukan di negara maju seperti Amerika Serikat dengan jumlah 72.446 perempuan dan 104. 425 laki-laki peraih gelar doktor.