Motivasi dari dalam diri perempuan yang minim, juga dilatarbelakangi banyak faktor. Mulai dari pendidikan patriarki di lingkungan keluarga yang masih sering kita temukan, stereotip peran gender dalam adat dan budaya, mitos-mitos, sampai interpretasi agama kerap dijadikan “senjata” untuk memukul mundur perempuan dari hak memperoleh pendidikan dan berpikir merdeka. Mulutnya kerap kali dibungkam.
Lirik kisah Sanita, perempuan asal Jawa Tengah yang pada Mei 2017 lalu menjadi wakil Indonesia dalam ajang Asian Development Bank’s 5th Annual Asian Youth Forum. Bukan tanpa kendala, pada umur 13 tahun, dengan alasan kesulitan ekonomi, orang tua Sanita pernah berkehendak untuk menikahkannya. Namun ia menolak. “Jika Bapak dan Ibu menghentikan pernikahan ini dan membiarkan saya melanjutkan pendidikan, saya akan membayar seluruh biaya yang Bapak dan Ibu habiskan buat saya. Jika Bapak dan Ibu memaksa saya menikah, maka saya tidak akan punya apa-apa lagi”.
Kini Sanita telah menunjukan pembuktiannya bukan hanya kepada orang tuanya, tetapi juga pada dunia sebagai hasil dari pendidikan yang diperjuangkannya. Sanita telah memenangkan kemerdekaannya.
Baca Juga:Dinsos Pastikan Bantuan Berkualitas BaikBantuan Sosial Corona yang Setengah Hati
Memang bukan hal mudah. Ketika perempuan memiliki kesempatan dan akses dalam berbagai lini kehidupannya untuk memiliki peran lebih dari kebiasaan masyarakat, beban ganda harus siap diembannya. Terlebih bagi mereka yang sudah menikah. Peran sebagai istri, ibu, anak dari orang tua dan mertuanya, pelajar, pekerja, dan seorang aktivis harus sekaligus dimainkannya. Bukan tidak mungkin dalam perjalanannya rentan menimbulkan konflik. Karenanya, menurut Saparinah dalam pendahuluan bukunya, Perempuan dan Ilmu Pengetahuan (1990), dukungan fisik dan moral dari keluarga sangatlah penting.
Saparinah berujar sebaiknya kehidupan karir dan keluarga perempuan tidak dipertentangkan. Namun nyatanya, banyak yang tidak sependapat dengan Saparinah. Tirto.id dalam artikel berjudul Kerikil Tajam Dunia Pendidikan untuk Perempuan bahkan menyinggung meme yang diunggah di akun instagram @gerakannikahmuda. Dalam meme tersebut, digambarkan seorang perempuan berjilbab yang berkata ingin kuliah dulu namun seorang lelaki menyeretnya ke KUA dan berucap “Nunggu wisuda kelamaan”. Tirto.id menyoroti menifestasi pola pikir si pembuat meme dan orang yang menyepakatinya. Pertama sebagai opini bahwa menikah lebih penting dibanding studi. Kedua implisit bahwa tenggat waktu menikah lebih pendek daripada melanjutkan pendidikan.