JAKARTA – Sejak muncul di kota China Wuhan akhir tahun lalu, penyakit coronavirus telah menyebar ke 185 negara dan wilayah – telah menginfeksi lebih dari 2,7 juta orang dan membunuh lebih dari 190.000 orang secara global, menurut data yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.
Untuk membendung penyebaran virus lebih lanjut, pihak berwenang di seluruh dunia menerapkan langkah-langkah untuk mengunci negara dan kota pada tingkat yang berbeda-beda. Itu termasuk menutup perbatasan, menutup sekolah dan tempat kerja, dan membatasi pertemuan besar.
Kepala ekonom IMF, Gita Gopinath mengatakan Pembatasan-pembatasan itu, yang oleh Dana Moneter Internasional disebut sebagai “Great Lockdown,” membuat banyak kegiatan ekonomi global terhenti, merugikan bisnis dan menyebabkan orang kehilangan pekerjaan.
Baca Juga:Beredar Kabar Kim Jong Un Meninggal Dunia karena Serangan JantungDinas Sosial Bandung Barat Ganti Bantuan Sembako Rusak
“Ini benar-benar krisis global karena tidak ada negara yang selamat,” kata Gita dalam blog yang diposting awal bulan ini, seperti dilansir CNBC (24/4).
Jumlah Pengangguran Meningkat
Banyak ekonom telah memperingatkan bahwa tindakan lockdown di seluruh dunia akan mempercepat orang-orang kehilangan pekerjaan – hal ini sudah terlihat dalam angka pengangguran di beberapa negara.
Di Amerika Serikat sebagai pusat ekonomi terbesar di dunia, lebih dari 26 juta pekerjaan hilang selama lima minggu terakhir. Berdasarkan Biro Statistik Tenaga Kerja, tingkat pengangguran AS pada bulan Maret adalah sebesar 4,4% menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2017.
AS tidak sendirian dalam menghadapi meningkatnya jumlah pengangguran. Australia dan Korea Selatan juga mencatat kenaikan tingkat pengangguran, dengan beberapa ekonom yang memperingatkan bahwa situasinya dapat menjadi lebih buruk.
Industri Jasa Terpuruk
Industri jasa adalah sumber utama pertumbuhan dan lapangan kerja bagi banyak negara, termasuk AS dan China – dua negara dengan ekonomi dan pasar konsumen terbesar di dunia.
Namun, kedua negara melaporkan penurunan tajam dalam penjualan ritel karena tindakan lockdown selama pandemi memaksa banyak toko untuk tutup dan membuat konsumen tetap di rumah. Peningkatan penjualan online yang dilaporkan oleh beberapa retailer, seperti Amazon, gagal membendung penurunan secara keseluruhan.
Analis dari Oxford Economics telah memperingatkan bahwa konsumen mungkin tidak melakukan pembelanjaan bahkan setelah tindakan lockdown dicabut. Hal tersebut terbukti dalam “pertumbuhan lambat” dalam penjualan ritel di China bahkan setelah negara itu mengizinkan pembukaan kembali bisnis secara bertahap.