oleh
1.Dwi Angga Oktavianto, S.Pd., M.Pd.( Guru di SMKN 1 Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin,Provinsi Kalimantan Selatan)
2.Drs.Priyono,MSi(Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Koordinator Asosiasi Pengawas Seluruh Indonesia (APSI) Kalimantan Selatan, Abdul Sani pada suatu ketika melemparkan pernyataan “Setiap pengawas melihat daftar hadir perpustakaan di tiap-tiap sekolah, ditemukan fakta bahwa jarang ada nama guru di daftar tersbut.” Pernyataan tersebut berarti guru di Kalimantan Selatan memang sebagian besar minat bacanya rendah. Ini juga menjadi masalah yang sama di berbagai provinsi lain di Indonesia. Inilah masalah yang sangat krusial yang sedang kita hadapi.
Gurunya saja sangat jarang membaca, apalagi siswanya. Kita tidak perlu memperdebatkan pernyataan tersebut, karena berbagai laporan baik hasil penelitian dari dalam maupun luar negeri memang menyatakan minat membaca siswa di Indonesia rendah. Guru menjadi panutan bagi siswanya maka dalam bahasa Jawa sampai muncul pepatah: “Guru kuwi digugu lan ditiru”.
Baca Juga:Alhamdulillah! Satu Pasien Covid-19 Asal Subang di RSHS SembuhPemdes Ciruluk, Kecamatan Kalijati Siapkan Ruang Isolasi Covid-19
Rendahnya minat membaca ternyata berbanding terbalik dengan “gampangnya” berita bohong (hoax) tersebar. Setiap kali ada hoax, pasti ribuan orang akan menyukai dengan memberi tanda jempol pada konten berita tersebut. Ribuan orang menyebarkannya, baik lewat Facebook, WhtasApp ataupun aplikasi sosial media lainnya, dan akhirnya jadi viral. Apa yang dapat disimpulkan?
Masyarakat Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan ternyata gemar membaca yaitu membaca konten berita yang tersebar pada internet. Hal ini berlaku pula kepada siswa, karena sesekali saya pernah mengecek kelas yang saya ajar, bahwa siswa mengetahui berita-berita yang sedang viral, entah itu berita bohong maupun berita yang benar.
Hal ini merupakan peluang untuk kita untuk “memviralkan budaya membaca” yang saat ini jamak disebut sebagai literasi.
Saya sangat yakin bahwa membaca adalah salah satu bentuk budaya.
Sehingga minat membaca dapat kita sebarluaskan. Ada beberapa hal yang dapat mendukung pernyataan tersebut.
Pertama, kita adalah bangsa yang menghasilkan berbagai hasil tulisan yang menjadi maha karya di zamannya. Masyarakat Kalimantan Selatan pasti pernah dengar Kitab Sabilal Muhtadien yang ditulis oleh Datu Kalampayan? Kitab Barencong yang disebar luaskan Datu Nuraya, Datu Suban dan Datu Sanggul? Kita memiliki DNA untuk dapat menghasilkan tulisan yang sangat bagus. Bukankah budaya menulis merupakan kelanjutan dari budaya membaca? Sebarluaskan kepada siswa kita bahwa dengan membaca kita akan mampu menulis, dengan menulis kita dapat memberi kontribusi terhadap kemajuan bangsa. Jangan lupa, ingatkan bahwa siswa kita mempunyai DNA penulis-penulis hebat yang gemar membaca.