Oleh: Dahlan Iskan
Tetap saja mengharukan. Biar pun salat Idul Fitri-nya di rumah sendiri. Kemarin.
Kebetulan ada halaman kecil di depan studio gamelan. Di samping rumah saya. Halaman itu berpasir. Pasir yang sudah dicuci –agar tidak berdebu.
Di situlah kami salat hari raya.
Dua anak, dua menantu, dan enam cucu menjadi jamaahnya. Rumah mereka hanya sepelemparan batu jauhnya.
Baca Juga:Karawang No 1 Kriminalitas di Jabar Selama PandemiAturan New Normal untuk Perusahaan: Dibentuk Satgas Hingga Anjuran Memberi Vitamin C untuk Karyawan
Ditambah pula Kang Sahidin –sopir keluarga yang tidak bisa pulang kampung ke Sukabumi. Juga Pak Man –tukang kebun yang sudah puluhan tahun membujang –sejak istrinya meninggal. Masih ditambah asisten rumah tangga anak saya dan staf keuangan di perusahaannyi.
Total 16 orang.
Di rerimbunan pohon mangga, nangka, asam Jawa, dan kaliandra itu kami menggelar tikar. Pula, diletakkan di situ satu kursi. Di sebelah sajadah imam. Itulah kursi untuk yang akan khotbah nanti –saya.
Istri saya lantas menghias kursi itu dengan kain yang dibeli di Turki. Lalu membungkus tongkat dengan bambu. Tongkat itu akan dipegang khotib saat berkhotbah nanti –seperti tradisi lama di desa saya dulu.
Saya ingat masa lalu. Nun jauh ke belakang. Yakni saat saya kelas 3 Aliyah (SMA). Saya diminta khotbah Idul Fitri di masjid desa saya. Itulah pertama kali saya khotbah Idul Fitri. Pun tahun-tahun berikutnya.
Lalu… tidak pernah khotbah lagi. Selama 40 tahun lebih. Mungkin juga tidak akan pernah khotbah lagi –kalau tidak ada Covid-19.
Dunia bisnis telah membuat saya tidak dikenal di dunia dakwah. Saya sudah dianggap ”binatang ekonomi”. Sudah disamakan dengan suku Tionghoa atau Yahudi.
Ternyata, di masa tua, masih harus khotbah lagi.
Tidak mudah berkhotbah di depan hanya 16 orang. Apalagi umur mereka bervariasi –8 tahun sampai 67 tahun. Tema khotbah bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Baca Juga:Ketum TMP dan Ketua DPRD Subang Salurkan Paket Beras di Hari Raya Idul FitriDipicu Pandemi Covid-19, Penerimaan Zakat Fitrah Kabupaten Subang Menurun
Saya putuskan hanya bercerita saja. Yakni cerita bahwa berkat Covid ini saya bisa salat tarawih tiap malam dengan tertibnya. Juga cerita tentang bagaimana di sepertiga akhir bulan puasa. Yang tarawihnya kami khususkan. Di setiap rakaat terakhir, gerakan rukuk (membungkuk) kami buat lama sekali. Untuk sepenuhnya berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Seperti gerakan penyerahan leher kepada pemilik hidup –terserah, mau dipancung sekali pun.