Dikatakannya, sulitnya akses terhadap layanan imunisasi di tengah pandemi Covid-19 dapat menimbulkan risiko wabah baru. Wabah yang mungkin timbul dari penyakit yang semestinya dapat dicegah dengan imunisasi. “Kita sudah mengalami pandemi (Covid-19), ditambah lagi outbreak penyakit yang semestinya bisa dicegah dengan imunisasi. Contoh yang paling gampang adalah campak,” katanya.
Menurutnya, dibanding Covid-19, wabah campak, memiliki tingkat bahaya yang lebih tinggi. Dikatakannya, jika satu penderita Covid-19 bisa menularkan 1,5 sampai 3,5 orang, maka penderita campak bisa menular sampai 18 orang. “Jadi jauh lebih berbahaya daripada penderita Covid-19 ini. Kemudian, kalau penderitanya batuk atau bersin. droplet-nya bisa “berjalan” kira-kira 2 meter, maka kalau campak lebih dari 6 meter,” katanya.
Wabah lain, yang semestinya dapat dicegah dengan imunisasi yang pernah terjadi di Indonesia adalah difteri. “Kalau anak sudah terkena sakit (difteri), maka saluran nafasnya akan tertutup membran. Kalau sudah tertutup saluran membran maka anak tidak bisa bernapas,” katanya.
Baca Juga:Tiba-Tiba PemiluNew Normal Kokohkan Penguasa Kakap, Wujud Solusi Gagal
Gangguan kesehatan semacam itu tentunya dapat menyebabkan kematian pada anak karena proses pengobatan yang berdarah-darah. Sementara serum untuk mengobati difteri juga semakin langka karena banyak produsen serum menutup pabrik, dengan alasan tak ada lagi kasus difteri di negara-negara tersebut.
Untuk itu, katanya, demi menghindari wabah baru, program imunisasi bagi anak, perlu terus dilakukan. Meski dalam kondisi sesulit apapun. “Jadi jangan sampai anak-anak kita tertular difteri atau campak (di tengah pandemi Covid-19). Jangan sampai kejadian. Oleh karena itu, bawa (mereka) ke Posyandu, Puskesmas atau fasilitas kesehatan apapun untuk imunisasi,” tegasnya.
Diakui Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang program imunisasi terhambat akibat pandemi Covid-19. “Kondisi pandemi Covid-19 ini memang memiliki dampak yang signifikan terhadap penanganan program imunisasi,” katanya di tempat yang sama.
Dikatakannya, hampir 83,9 persen pelayanan kesehatan, terutama imunisasi, terkena dampak. “Artinya pelayanan imunisasi itu tidak dilaksanakan lagi. Kita tahu seperti apa dampaknya kalau pelayanan imunisasi ini tidak dilakukan,” katanya.
Dijelaskannya, jika dibandingkan dengan periode April 2019, maka tren imunisasi dasar lengkap mengalami penurunan. “Kalau dari Januari dan Februari sebenarnya masih belum terdampak di dalam laporan. Tapi di April sudah cukup signifikan penurunannya, hampir 4,7 persen, selisih daripada cakupan yang ada di imunisasi lengkap pada 2019 dan 2020,” katanya.