Oleh: Dahlan Iskan
Tidak semua asap ada apinya. Tapi wacana pembubaran OJK (Otoritas Jasa Keuangan) ada penyebabnya. Banyak. Misal, lemahnya pengawasan oleh OJK itu. Sampai-sampai terjadilah mega skandal. Seperti kasus Jiwasraya.
Secara kecil-kecilan terjadi juga apa yang dialami wartawan Ilham Bintang. Kartu kreditnya bobol.
Tapi bukan hanya dua api itu yang membuat asap hitam OJK membumbung tinggi. Isu pembubaran itu lebih terkait dengan program penyelamatan ekonomi nasional. Terutama akibat Covid-19.
Baca Juga:Konflik Kepentingan dan Ancaman Ekonomi Dibalik Masuknya 500 Tenaga Kerja TiongkokRidwan Kamil: Utamakan Keselamatan Warga Saat Pilkada
Presiden, lewat Perppu sudah memutuskan perlunya stimulus ekonomi. Termasuk untuk mengusaha kecil. Yang total nilainya di atas 100 triliun.
Sampai sekarang, dana yang sudah cair baru sekitar 1 persen. Inilah yang melatarbelakangi ucapan presiden dalam marahnya pekan lalu: jangan sampai pengusaha dibiarkan mati dulu baru dibantu. Akan sia-sia.
Dalam Perppu, Presiden Jokowi memang mempermudah prosedur pencairan stimulus. Terutama untuk pinjaman yang di bawah Rp 10 miliar.
Salah satu kemudahan itu adalah: pengusaha yang kreditnya bermasalah pun bisa mendapatkan stimulus itu. Tentu OJK keberatan –meski tidak pernah diucapkan. Itu termasuk melanggar rukun iman perbankan yang harus pruden.
Maka orang seperti Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P Roeslani, berkoar. Begitu juga banyak politisi.
Tapi bukan Ketum Kadin itu yang pertama melontarkan isu pembubaran OJK.
“Saya tahu siapa orang pertama yang melontarkan pernyataan itu. Tapi saya tidak mau menyebut nama. Nanti jadi fitnah,” ujar Mohamad Misbakhun, anggota DPR dari Golkar.
Baca Juga:Wagub Jabar Dorong Kemandirian Desa di MajalengkaDPC PDIP Subang Laporkan Pembakaran Bendera Partai
Dari situlah wacana pembubaran OJK bermula. Dari kemarahan. Ini seperti hukum karma saja. OJK dulu dibentuk juga oleh kemarahan. Ketika pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia kurang baik. Puncaknya terjadi skandal Bank Century.
Fungsi pengawasan Bank Indonesia dianggap lemah. Maka perlu dibentuk lembaga di luar BI, khusus untuk memperkuat pengawasan. Terbentuklah OJK itu. Ternyata masih terjadi skandal seperti Jiwasraya.
Inggris menjadi contoh pemisahan. Waktu itu, Inggris memang memisahkan antara fungsi pengaturan moneter dan pengawasan bank. Padahal Inggris adalah Makkah-nya keuangan dunia. Mengapa tidak diikuti saja.
Akhirnya, pada 2013, kita ikut Inggris. Terbentuklah OJK.