Oleh: Dahlan Iskan
Test kilat telah jadi bisnis tersendiri. Juga telah menjadi sumber pengurasan anggaran negara dan daerah.
Hanya satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid test: Sumatera Barat. Alasan utamanya sangat ilmiah: “Rapid test tidak bisa dipercaya,” ujar dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way kemarin.
Di sana semua test dilakukan dengan PCR –swab test. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya.
Baca Juga:Pemprov Segera Salurkan Bansos Tahap IIEfisiensikan Anggaran Pilkada
Kuncinya ada di penemuan ilmiah oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas Padang itu. Di sana test swab itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa diketahui dalam 24 jam. Dengan kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari (DI’s Way: Tirani Minoritas)
Sudah lebih tiga bulan Sumbar melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites di sana. Padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta.
Satu laboratorium di universitas itu sampai kekurangan sampel untuk dites.
Karena itu tidak ada zona merah di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu kota: Padang. Sumbar juga sudah memutuskan akan membuka sekolah yang sudah lama mulai Senin depan. Khususnya di 4 daerah.
Kalau daerah di luar Sumbar kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan. Misalnya untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.
Seharusnya yang ingin bepergian pun bisa dites gratis di situ. Tapi tidak bisa. Peraturan menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk perjalanan.
DI’s Way pun sudah menuliskan penemuan itu sampai tiga kali. Sampai sungkan. Sampai seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar.
Padahal tidak ada maksud lain kecuali agar menginspirasi daerah lain. Sayang kebaikan ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid test.
Baca Juga:Terungkap, Inilah Identitas Nenek Korban Tabrak Lari di PanturaJadi Korban Tabrak Lari, Nenek Tanpa Identitas Meninggal Ditempat
Respons dari daerah lain sangat minim. Pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung penyebaran temuan itu.
Padahal penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy. Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka rela.
Semua uraian ilmiahnya bisa didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia memberikan tutorialnya. Secara gratis.