Sejak kecil Tubman sudah kenyang dengan dipukuli majikan. Atau orang suruhan majikan. Dia memang terlahir dari seorang ibu yang budak. Di Maryland, sepelemparan batu dari Washington DC. Tubman baru meninggal tahun 2013 lalu di New York. Di usianyi yang 91 tahun.
Pemukulan-pemukulan masa kecil itu sampai merusak saraf di otaknyi. Tubman-kecil pun menderita hypersomnia. Dia selalu mengantuk yang berlebihan. Tapi pikirannyi hidup di dalam kantuknyi itu.
Dia lantas tumbuh menjadi seorang yang mirip indigo. Dia punya kemampuan melihat sesuatu dengan mimpinyi. Dan dengan pikirannyi. Dia pun menjadi sangat taat beragama. Di gereja methodist.
Baca Juga:Bebas Hukum Pancung Setelah Bayar Diyat Rp15,2 Miliar, Eti Binti Toyib Positif Covid-19Tanpa Keluarga
Tubman juga tidak kenal takut. Dia minggat. Ke Philadelphia. Dengan segala ancaman yang sangat menakutkan.
Setelah itu Tubman diam-diam kembali ke Maryland. Untuk melarikan seluruh keluarganya. Juga siapa pun yang ingin lari.
Tengah malam mereka meninggalkan rumah. Lewat hutan yang tidak dikenal. Begitu dramatiknya pelarian ini sampai Tubman mendapat julukan sebagai ”Musa” yang berhasil menghindari kekejaman Fir’aun.
Dia menyelamatkan begitu banyak orang dari perbudakan.
Nama Tubman belakangan ini lebih banyak disebut daripada nama Jefferson. Atau sama.
Amerika benar-benar kian terbelah. Saya seperti Audrey –yang tulisannyi dimuat secara serial di harian Disway sejak Sabtu lalu– berharap Amerika bisa kembali menjadi Amerika.