bahkan urip sederhana saja butuh budaya. Urip sederhana yang dimaksud bukan hidup pas-pasan, melainkan hidup dengan cara-cara yang sederhana yang belum bergantung pada teknologi dan teknokrasi. contohnya adalah bagaimana cara kita mengolah beras menjadi nasi atau dari nasi menjadi berjenis-jenis menu nasi itulah budaya. Atau bagaimana kita mengubah kayu menjadi perkakas itulah budaya. Allah menciptakan pohon kayu, manusia mengubahnya menjadi apa saja buat kebutuhan hidupnya.
Dalam sudut ini, Tuhan (yang memberi agama) dan manusia justru tampak “bekerja sama” atau berbagi peran. Sebab manusia tak mungkin langsung makan beras. Dibutuhkan iguh, kerja, dan keterlibatan manusia agar beras itu menjadi nasi.
Jembatan Bernama Pemahaman
Paparan di atas sekaligus menggambarkan bahwa antara agama dan budaya manusia itu sendiri terdapat sebuah jarak yang dihuni oleh cara manusia memahami segala sesuatu. Pemahaman dan pemikiran. Jika seseorang memandang syirik berhubungan dengan benda misalnya keris atau syirik memakai barang barang yang dipercaya mempunyai energi,
yang perlu dilihat atau ditinjau adalah bagaimana cara berpikir mereka kok bisa sampai kepada kesimpulan itu. Itulah sebabnya, syirik atau tidak itu tidak terletak pada bendanya, melainkan pada bagaimana cara kita memandang keris itu. Maka dari kita semua harus lebih akurat dan presisi dalam memahami persoalan cara pandang budaya, itu sebenarnya tidak sulit dan sudah cetho.
Baca Juga:TKA Merapat, Sudahkah Kebijakan Pro Rakyat?Soal Bansos Covid-19, Kades Marengmang Bantah Pilih Kasih
Ada sesuatu yang terberi. Ada sesuatu yang dari yang terberi itu lalu dibuat (secara teknologis) sedemikian rupa menjadi peranti di mana peranti dibikin seperti itu karena ada maksud dan keperluannya, umpamanya alat musik untuk mencipta keindahan. Ada alat yang dicipta untuk dinikmati keindahan yang dihasilkannya. Tetapi, juga peranti itu dapat dipakai untuk tujuan di luar keindahan sendiri, seperti kekhusyukan dan pepujian kepada Allah dan Kanjeng Nabi. gamelan dan alat musik lainnya sudah pasti berfungsi untuk keindahan, sudah pasti pula untuk membangun kekhusyukan hubungan batin dengan Allah dan Rasulullah, sudah pasti pula untuk memperindah kebersamaan di antara sesama.
Allah sendiri telah menegaskan “Bertasbih segala apa yang ada di langit dan di bumi…”. Gamelan dan alat-alat musik yang hakikatnya adalah benda dari alam karenanya mustahil barang itu tidak bertasbih. Maka bahasa kulturalnya, ketika dibunyikan sebagai alat musik pun proses musikal ini diniatkan atau dibayangkan sebagai salah satu bentuk tasbihnya.