Disini, jika para guru agama tidak memiliki wawasan yang kuat tentang pendekatan pembelajaran agama (belajar tentang agama dan belajar dari agama) serta wawasan keilmuan agama yang mendalam, pembelajaran agama akan terjebak kepada dogmatisme. Sehingga ruang untuk mengeksplorasi nilai-nilai universale dari agama terlewatkan.
Hal ini (baca dogmatisme) akan melahirkan klaim kebenaran sepihak, berdasarkan satu pandangan saja, baik kepada internal agama apalagi kepada eksternal agama lain. Sehingga menutup ruang toleransi terhadap pandangan dari luar atau pandangan yang berbeda. Belajar ke dalam agama, jangan sampai memperbesar ruang klaim kebenaran sepihak dan memperbesar klaim prasangka kepada pihak lain. Justru belajar ke dalam agama harus memperkuat ruang dialog “teologis” dengan tetap meyakini dengan seyakin-yakinnya aqidah atau kepercayaan kepada agama kita sendiri. Namun tetap membuka ruang dialog dengan terhadap entitas “teologis” agama lain. Sekaligus menyempitkan bahkan menghilangkan ruang untuk prasangka tumbuh dan menutup “kebencian” kepada teologis lain berkembang.
Ketika belajar ke dalam agama, tanpa keterbukaan untuk menerika teologi dari agama lain,m maka ruang kelas agama hanya akan menjadi medan pertempuran ideologi antar agama. Hal ini akan berakibat kepada menguatnya sentimen keagamaan yang tertanam di kalangan siswa. Tentu hal ini tidak kita inginkan.
Baca Juga:Wagub Lawan Mafia Penambang TanahBUMD PT. Jasa Sarana Akan Garap Tiga Proyek DBMPR Jabar
Belajar tentang agama, memperlakukan agama sebagai subjek studi akademis. Nah mungkin untuk pendekatan ini tidak diberikan di lembaga pendidikan dasar dan menengah. Namun diberikan pada level pendidikan yang lebih tinggi. Sebab pada pendekatan tentang agama, siswa belajara agama lebih komprehensif dan tidak satu agama. Mungkin kalau di perguruan tinggi belajar tentang agama, ada dalam mata kuliah perbandingan agama. Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, belajar tentang agama, bisa dengan cara menghadirkan perbedaan praktek keagamaan atau paham sebagai sesuatu yang wajar dan harus dihormati dan dihargai. Hal ini mendidik siswa untuk memahami bahwa setiap agama memiliki teologi dan ritual yang berbeda yang harus dihargai dan dihormati. Penghargaan terhadap perbedaan teologi, ritual, paham suatu agama adalah inti dari belajar tentang agama.