Berbeda dengan kasus Grand Corruption, kasus Petty Corruption kurang mendapatkan perhatian publik dan hampir jarang diberitakan oleh media, tapi efeknya begitu membahayakan karena dapat menjadi kebiasaan buruk yang melekat. Ibaratnya, Apabila Grand Corruption dapat kita sebut sebagai Grand Killer, maka untuk Petty Corruption dapat disebut sebagai Silent Killer. Bahkan salah satu pejabat KPK pernah mengatakan bahwa Petty Corruption lebih berbahaya daripada Grand Corruption, karena dapat membuat “sakit” masyarakat.
Seberapa Parah?
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengukur Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) sejak tahun 2012 sampai dengan 2020 (kecuali 2016) melalui sebuah survei yatu Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK). SPAK ini bertujuan untuk memotret fenomena perilaku Petty Corruption di masyarakat. Kemudian dari SPAK ini akan diperoleh hasil berupa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). IPAK disusun berdasarkan dua dimensi yaitu dimensi persepsi dan pengalaman. Dimensi persepsi berupa penilaian atau pendapat masyarakat terhadap beberapa kebiasaan atau perilaku anti korupsi di masyarakat. Sementara itu dimensi pengalaman merupakan pengalaman anti korupsi yang dialami masyarakat. Nilai IPAK berkisar pada skala 0 sampai 5. Semakin mendekati 5 berarti semakin baik, artinya masyarakat berperilaku semakin anti korupsi.
Nilai IPAK selama tahun 2012-2020 berfluktuasi. Ketika pertama kali dicanangkan, nilai IPAK pada tahun 2012 menghasilkan angka 3,55 dan pada tahun 2020 berdasarkan rilis resmi BPS angka IPAK meningkat menjadi 3,84. Angka ini lebih tinggi 0,14 poin dibandingkan dengan hasil IPAK 2019 sebesar 3,70. Apabila dijabarkan berdasarkan dimensi persepsi dan pengalaman, dari hasil rilis IPAK 2020 diperoleh penjabaran bahwa dari dimensi persepsi diperoleh angka 3,68 dan dari dimensi pengalaman diperoleh angka 3,91.
Baca Juga:Risma AndaniKurikulum Moderasi Menyesatkan Generasi?
Nilai IPAK tahun 2020 sebesar 3,84 dari 5 poin adalah capaian yang dapat dikatakan baik, artinya bahwa masyarakat Indonesia sejatinya sudah paham dan cenderung anti terhadap perilaku maupun tindakan korupsi. Namun, apakah hasil ini mampu menggambarkan realitas sesungguhnya. Tak bisa dimungkiri bahwa sekarang ini masih ditemukan banyak celah dan peluang yang berpotensi menimbulkan perilaku Petty Corruption tetap tumbuh subur dan tidak mudah dihilangkan, karena perilaku masyarakat Indonesia masih lekat dengan budaya ketimuran yang cenderung memiliki sikap permisif, tidak enakan dan sering membiasakan hal umum yang sesungguhnya salah. Hal ini patut menjadi perhatian.