BANDUNG-Kepala Sub Bagian Komunikasi PTPN VIII, Reza menyebutkan, petani yang saat ini menjadi tersangka penanaman ganja di lahan milik PTPN itu merupakan penggarap ilegal. Menurut Reza, petani penanam ganja adalah penggarap ilegal itu sering ditegur pihak PTPN lantaran menggunakan areal lahan yang tidak dikerjasamakan.
Penggarap ilegal tersebut melakukan penanaman ganja dalam bentuk polybag yang disimpan menyebar di beberapa titik. Manajemen Bukit Unggul telah melakukan penyisiran rutin namun tidak ditemukan adanya penanaman ganja.
Reza mengatakan, pihak manajemen kebun tidak melihat ada aktivitas yang mencurigakan. Sebelumnya, PTPN VIII sempat melakukan pengukuran lahan-lahan yang akan dikerjasamakan termasuk kawasan lahan yang digunakan pelaku penanaman ganja.
Baca Juga:Jalur Lingkar Pamanukan, Camat: Itu Proyek DinasKejari Purwakarta Siap Gugat Perusahaan Penunggak BPJS Kesehatan
“Penanaman ganja menggunakan polybag merupakan cara mereka dalam mengelabui petugas kita di lapangan, sehingga mereka dengan mudah memindahkan barang tersebut dari satu titik ke titik lainnya, dan disimpan berdampingan dengan tanaman lainnya untuk menyamarkan barang tersebut,” kata Reza.
Reza menjamin, Manajemen PTPN VIII bakal turun tangan membongkar kasus penanaman ganja di lahan miliknya. PTPN VIII akan berkoordinasi dengan warga dan kepala desa setempat untuk mengawasi masih adanya sisa tanaman ganja yang lain yang masih tumbuh di areal lahan miliknya.
“Kami sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan pihak kepolisian khususnya Polres Cimahi dan kami secara terbuka untuk bersama-sama kepolisian dalam membongkar jaringan pengedaran ganja ini, semoga kedepan tidak terulang kembali hal serupa di tempat lainnya” tandasnya.
Umumnya Petani Tanam Sayuran
Kepala Desa Suntenjaya Asep Wahono mengaku pernah menjadi penggarap lahan PTPN VIII. Namun baru kali ini ada penggarap (ilegal) yang menanam tanaman terlarang. Padahal menurutnya, sebagian besar penggarap adalah menanam sayuran.
Dirinya mengakui, jika melakukan sewa menyewa tanah PTPN ada mekanisme yang harus ditempuh. Mulai dari survey lokasi, datang ke kantor PTPN, membayar sewa baru diukur.
Menurutnya, pihak PTPN pun melakukan monitoring terhadap lahan yang disewagarapkan kepada petani. “Dulu saya sewa, perhektar Rp 4 juta, sekarang tidak tahu harganya. Sudah lama sih, kami di kontrol, mungkin takut ngerusak pohon kina,” ucapnya.