Semenjak awal dibangunnya Pelabuhan Patimban, nelayan terus dirugikan. Kompensasi yang mereka tuntut pun belum juga direalisasikan. Sebanyak 1250 nelayan terdampak memang sudah dijanjikan untuk diberi mata pencaharian lain. Namun, selain belum juga terealisasi, 13 program mata pencaharian yang disediakan dianggap merendahkan, seperti menjadi satpam, cleaning service dll.
Kompensasi ini seperti sedang menggambarkan sebuah negara yang sedang mengemis di dalam rumahnya sendiri. Rakyatnya hanya dijadikan sekrup-sekrup kecil pelengkap lajunya korporasi.
Adanya fakta diatas menunjukan pada kita bahwa, industri multinasional dan juga pelabuhan internasional yang dibangun di Subang semata untuk keuntungan korporasi. Rakyat hanya mendapatkan remah-remahnya saja. Walaupun tersedia lapangan pekerjaan lain bagi para nelayan yang terdampak, juga terbukanya 8000 loker baru. Sesungguhnya hal demikian tidak akan bisa mensejahterakan warga. Upah atau kompensasi yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan apa yang telah mereka korbankan.
Baca Juga:Gubernur Jabar Merasa Kehilangan Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat Sebagai Sosok PanutanRp 71,78 Miliar APBN Masuk Rekening Pribadi
Trickle down effect, yaitu sebuah teori ekonomi yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada pemilik modal yang pada gilirannya akan merembes ke bagian masyarakat termiskin, hingga bermanfaat bagi semua. Adalah teori omong kosong yang diciptakan sistem ekonomi neolib untuk mengatakan dengan bahasa halus, tentang sebuah negara yang dijajah oleh korporasi. Negara dipaksa hanya menjadi fasilitator untuk menciptakan kebijakan yang menguntungkan korporasi.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memfokuskan pembangunanya semata untuk kemaslahatan umat. Begitupun kawasan industri pastilah berorientasi pada kesejahteraan umat. Negara memiliki kuasa penuh terhadap kebijakannya. Negara bukanlah sekedar fasilitator korporasi dalam memperoleh keuntungan di negeri ini. Namun negara dengan kekuatannya mampu menciptakan proteksi bagi warganya.
Perdagangan luar negeri pun diatur sedemikian rupa agar korporasi multinasional tidak menyetir pembangunan dalam negeri. Maka dari itu, dibutuhkan kedaulatan politik dalam penentuan segala kebijakan dalam negeri. Agar tak lagi disetir oleh asing, aseng ataupun asong. Sehingga kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia bukan lagi mimpi di siang bolong.