Mereka pun sangat berprestasi di situ. Banyak yang sampai menduduki posisi level atas.
Suatu malam mereka pesta daging bakar di halaman belakang rumah Yu Xuefeng. Di situlah mereka terlibat dalam pembicaraan serius: mengapa pabrik obat di negara mereka ketinggalan. Khususnya ketinggalan dari dunia Barat. Baik dalam hal mutu maupun keamanannya.
Pesta malam itu diakhiri dengan kebulatan tekad: pulang!
Mereka ingin mewujudkan idealisme di bidang farmasi bagi kemajuan Tiongkok. Mereka pun berhenti dari Sanofi. Ada 4 orang yang segera memilih pulang. Mereka inilah yang mendirikan perusahaan farmasi di kota Tianjin, sebelah timur Beijing. Kata ‘Kanada’ mereka abadikan dalam nama depan perusahaan itu: CanSino.
Baca Juga:MENGINTIP KREATIVITAS MAHASISWA DI MASA PANDEMIPria Paruh Baya Nekat Terjun Ke Sungai Cipunagara
Pemerintah Kanada memberikan dukungan pada perusahaan itu. Bahkan membolehkan menjalin kerja sama dengan lembaga riset milik pemerintah Kanada.
Ketika ada wabah Ebola, CanSino aktif mengembangkan vaksin itu. Saat itulah mereka bertemu Jenderal Chen Wei, ahli mikrobiologi yang juga kepala pusat riset farmasi militer Tiongkok. Mereka pun bekerja sama.
Sebelum itu pun mereka sudah lama mengenal nama Chen Wei. Nama jenderal wanita ini amat harum. Juga heroik. Terutama saat terjangkit wabah SARS di Tiongkok. Kala itu Chen Wei melakukan riset sangat serius. Dia ingin menemukan vaksin anti-SARS. Dan dia berhasil.
Keberhasilan itu bukan tidak dramatik. Sangat-sangat dramatik. Chen Wei menjadikan anak lelaki satu-satunya sebagai objek uji coba vaksin yang dia temukan itu. Umur si anak masih 4 tahun.
Itu bukan karena Chen Wei tidak sayang anak. Tapi dia begitu yakin akan penemuannyi itu. Dia memastikan anaknyi tidak akan bermasalah.
Kalau tahun lalu di Tiongkok beredar film Wolf Warrior II yang sangat laris di bioskop-bioskop, inspirasinya dari perjalanan kepahlawanan Chen Wei itu. Kali ini, untuk vaksin anti-Covid-19 ini, Chen Wei merangkul CanSino.
Sayangnya CanSino tidak bisa finish di Bandung.(Dahlan Iskan)