Skema yang disepakati Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang dengan menjadikan operator Pelabuhan Patimban itu merupakan kombinasi perusahaan Indonesia dan Jepang. (Investor Daily Indonesia, 30/06/20).
Operator yang berasal dari swasta Indonesia dan Jepang dengan memberikan masa konsesi pengelolaan pelabuhan sekitar 20 tahun. (CNBC Indonesia, 24/06/19). JICA sendiri mematok suku bunga pinjaman sebesar 0,1% (flat) dengan masa pengembalian selama 40 tahun, termasuk masa tenggangnya berjarak 12 tahun (Detik Finance, 13/11/17).
Dapat dibayangkan dari mekanisme KPBU dengan hak pengelolaan pelabuhan oleh perusahaan asing dan swasta (badan usaha) dalam negeri semakin menunjukkan bagaimana nasib para nelayan Patimban yang hanya sebagai penikmat remah-remah kecil dari proses pembangunan tersebut. Inilah salah satu bahaya dari penerapan ekonomi kapitalis dimana korporasi (perusahaan-perusahaan besar) yang memiliki dana (kapital) berlimpah dapat menguasai (mengelola) kepemilikan umum yang menguasai hajat hidup banyak, termasuk laut, pantai, pelabuhan, bandara, jalan raya, dan sebagainya.
Baca Juga:Terungkap, Mayat di Tarum Timur Binong Ternyata Korban PembunuhanSyahrul Gunawan Maju di Pilbup Bandung
Akhirnya visi negara menjadi poros maritime dunia tetap tunduk pada aturan investor karena pembiayaan pelabuhan berasal dari mereka.
Padahal Rasulullah saw. bersabda bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air, dan api padang rumput (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Berdasarkan hadis tersebut bahwa air termasuk diantaranya pantai, laut, sungai atau apapun yang berkaitan dengan kepentingan umum adalah milik masyarakat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Demikianlah konsep ekonomi Islam. Negara secara mandiri akan membangun dan mengelola kepemilikan umum tersebut dengan perolehan keuntungan dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Pembangunan infrastruktur berasal dari Baitul Mal termasuk dalam membangun infrastruktur pelabuhan untuk menunjang pembangunan maritim. Jelas, bahwa visi maritim Islam yang akan menjadikan tanah, laut, pelabuhan untuk kepentingan umat dan melepaskan diri dari ketertundukan pengaruh korporasi.
Sebagai sebuah renungan, cerita masyhur mengenai seorang Yahudi tua yang menuntut hak atas rumah dan tanahnya yang akan digusur oleh gubernur Mesir, Amr bin Ash. Sang Gubernur akan membeli dengan harga lima kali lipat, rumah dan tanah Yahudi tersebut untuk pembangunan infrastruktur masjid megah dan rumah gubernur.