Oleh : Irianti Aminatun
Keluarga merupakan institusi terkecil di masyarakat yang memiliki peran vital dalam menyiapkan generasi pembangun peradaban dunia. Peran itu akan terealisasi secara optimal saat ketahanan keluarga terbangun kokoh.
Realitasnya ketahanan keluarga saat ini justru rapuh. Viral di media sosial beberapa hari lalu video puluhan orang mengantre panjang di Pengadilan Agama Soreang. Kab. Bandung. Pengadilan Agama Soreang mengakui, kasus perceraian meningkat tajam. Belum sampai akhir Agustus saja sudah 592 kasus gugatan cerai yang masuk.
Bupati Kab. Bandung Dadang Naser sampai mengajak para ulama berperan memberikan nilai-nilai religi kepada pasangan suami istri guna menekan angka perceraian yang tinggi yaitu mencapai 150 kasus per hari (www.wartaekonomi.co.id)
Baca Juga:TP PKK Desa Ciruluk Bagikan 5 Ribu MaskerRawan Laka Lantas, Tanjakan Sabrino Kembali Menelan Korban
Rapuhnya ketahanan keluarga tidak lepas dari hilangnya penjagaan berlapis berupa hukum-hukum perlindungan keutuhan keluarga yang mestinya dijalankan oleh berbagai pihak. Mulai dari pasangan suami-istri itu sendiri, masyarakat maupun negara.
Terjadi pergeseran pandangan terhadap kuatnya ikatan pernikahan setelah akad nikah. Bahwa mereka diikat dengan nama Allah untuk menjalankan janjinya masing-masing dalam menunaikan kewajiban seperti menafkahi istrinya, mendidik istri dan anak-anak dengan syariat Islam.
Banyak dari keluarga muslimyang sekarang tidak lagi komitmen menjalankannya. Tak sedikit para suami yang tidak menafkahi istrinya baik sengaja atau tidak karena sulitnya pekerjaan.
Kondisi keluarga yng demikian, tak semata karena kelalaian pasangan suami istri. Tekanan ekonomi, tak pahamnya hak dan kewajiban, tidak fahamnya terhadap hukum syara’ seputar pergaulan dalam rumah tangga adalah akibat dari mandulnya fungsi negara sekuler dalam membentuk ketahanan keluarga.
Negara sekuler tak memiliki konsep rinci dalam membentuk ketahanan keluarga. Jika pun ada hanya sepintas yang tidak akan banyak memberikan pengaruh pada kokohnya ketahanan keluarga. Pembinaan pendidikan pra nikah misalnya, yang menjadi program pemerintah yang diberikan sesaat sebelum calon pasangan menikah lebih hanya sebagai syarat formalitas ketimbang menjadi bekal bagi calon mempelai.
Negara tidak menjamin seluruh kepala keluarga mampu menafkahi keluarga dengan menyediakan lapangan kerja yang luas, gaji yang pantas, dan pemenuhan sarana publik yang lain seperti penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan secara gratis.