SUBANG-Kasus dugaan SPPD fiktif DPRD Subang telah menguras perhatian publik. Sebab, ada dua pandangan pro kontra. Dari sisi administrasi negara, sejumlah pejabat di Subang menganggap kasus ini sudah tuntas.
Temuan BPK atas adanya kekeliruan dalam pengeluaran keuangan untuk perjalanan dinas (SPPD) DPRD sudah dikembalikan. Dianggap sudah tuntas. Tapi di sisi lain, penegak hukum Kejari Subang menduga ada motif dugaan tindak pidana korupsi. Kasus ini pun naik tahap penyidikan.
Merespons status penyidikan itu, Pemkab Subang bereaksi. Kuasa hukum Pemkab Subang Dede Sunarya, SH meminta Kejaksaan untuk membuktikan adanya kerugian negara berdasar hasil audit BPK. “Dalam kasus tindak pidana korupsi, harus ada bukti kerugian negara. Jika tidak ada kerugian negara, jaksa harus menghentikan penyidikannya,” katanya dua pekan lalu kepada Pasundan Ekspres.
Baca Juga:Gedung Dakwah Steril dari Pedagang100 Hektare Sawah di Desa Karanganyar Terancam Kekeringan
Sementara Kejari Subang bergeming. Menurunkan tim Jaksa menelusuri kasus ini ke sejumlah tempat. Tapi Kajari Subang saat itu, M. Ihsan pun mengakui, masih menunggu permintaan audit dari BPK. Pandemi Covid-19 menjadi alasan. “Memang kita masih menunggu hasil audit, terhalang Covid-19,” katanya.
Reaksi juga datang dari Ketua DPD Nasdem Eep Hidayat. Ia mengkritisi Langkah Kejari Subang menaikkan status hukum kasus SPPD. Eep mengatakan, DPRD sudah mengembalikan temuan kerugian negara berdasarkan rekomendasi BPK.
Sebagaimana dikutip jabarpress.com, Eep menyebut kasus SPPD terkesan dipaksakan. Padahal rekomendasi BPK terkait temuan kerugian negara sudah dikembalikan. “Apalagi Irda (inspektorat daerah) sudah melaporkan penyelesaian pengembalian ganti rugi tersebut,” ujarnya, Rabu (2/9).
Sementara terkait penanganan kasus hukum Eep juga mengutip surat edaran Kejaksaan Agung. Hanya saja tidak menjelaskan secara rinci surat edaran yang dimaksud. Tapi Kejaksaan Agung memang pernah mengeluarkan surat edaran nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010 terkait kasus pungutan liar (pungli) dan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam surat edaran itu ditekankan, penanganan kasus pungli dilakukan dalam hal pelayanan publik yang tidak jelas dasar hukumnya. Kemudian dalam perkara korupsi ditekankan menangani kasus berskala dan berdampak besar. Serta mengutamakan pengembalian kerugian negara (restorative justice).