Oleh: Tawati
(Muslimah Revowriter dan Member WCWH Majalengka)
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terpantau mencapai angka 74,92 dalam skala 0-100. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun lalu sebesar 72,39. Artinya capaian kinerja demokrasi Indonesia masih berada dalam skala sedang. IDI 2018–2019 ini dipengaruhi oleh penurunan aspek Kebebasan Sipil sebesar 1,26 poin (dari 78,46 menjadi 77,20), kenaikan aspek Hak-hak Politik sebesar 4,92 poin (dari 65,79 menjadi 70,71) dan kenaikan aspek Lembaga Demokrasi sebesar 3,48 poin (dari 75,25 menjadi 78,73). Informasi saja, skala indikator dalam IDI di bawah 60 berarti buruk, rentang 60-80 berarti sedang, dan di atas 80 berarti baik. (Kompas.com, 3/9/2020)
Demokrasi Pra Pandemi COVID-19
PROF. DR. Firman Noor dalam artikel beliau menuliskan, kondisi politik sebelum pandemi COVID-19 dapat dikatakan mengalami turning point bagi demokrasi. Ini sebenarnya hanya kelanjutan dari situasi yang secara umum tengah terjadi. Kondisi ini tercermin dari upaya pemerintah menelurkan berbagai kebijakan kontroversial, yang kemudian ramai disoroti dan dikritisi oleh masyarakat.
Ketiga kebijakan itu adalah (1) Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat; dan (3) RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak aspeknya lebih memberikan keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau investor ketimbang pekerja/buruh.
Baca Juga:Ruhimat Harus Lapor Polisi, IM Siap jadi SaksiOom Abdul Rohman: Nol Rupiah Hanya Lisan
Dua yang pertama telah memicu ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia untuk kembali ke jalan. Meski kemudian berhasil diredam oleh aparat, sebagian dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Apa yang diperjuangkan pun akhirnya menjadi sia-sia karena baik pemerintah maupun DPR tetap dengan pendiriannya untuk menetapkan UU tersebut.
Ini juga menjadi sebuah indikasi kuat adanya pelemahan peran mahasiswa sebagai kalangan muda-kritis yang biasanya selalu diharapkan menjadi agen perubahan. Sementara itu, RUU yang terakhir telah memicu perlawanan terutama dari kalangan buruh. Kehadiran ketiga UU/RUU kontroversial itu pada banyak aspeknya jelas tidak aspiratif. Ketiganya tampak jelas lebih mengakomodir kepentingan para oligarki.
Ketiga kebijakan itu juga sarat dengan upaya melakukan sentralisasi kekuasaan dan intervensi negara, sehingga ruang publik (bahkan privat) maupun kewenangan pemerintahan daerah menjadi tereduksi. Tidak itu saja, upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi dalam pengawasan ketat pemerintah. Padahal pengawasan ketat semacam itu adalah sebuah bencana untuk pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi berskala masif.