Selain itu, kecepatan (bandwidth) jaringan internet di Subang masih belum memuaskan, hanya 20 mbps (mega bite per second). Ilustrasinya, jika 10 orang menggunakan jaringan internet bersamaan dengan kebutuhan data tinggi tentu akan tersendat (buffering). “Kita agak repot kalau ada vidcon (video conference) bersamaan di Pemda. Kita tarik sana-sini biar bisa lebih dari itu. Idealnya di kecepatan 50 mbps. Kalau standar internasional 500 mbps,” ungkap Kepala Diskominfo Subang, Mas Indra Subhan, Jumat (16/10).
Bagaimana upaya untuk mengatasi itu? Mas Indra geleng kepala. Dengan anggaran yang terbatas, ia yakin belum bisa berbuat banyak. Diskominfo tahun ini hanya mendapat anggaran Rp5 miliar. Sudah termasuk gaji, tunjangan dan biaya rutin. “Belanja hanya sekitar Rp2 miliar. Jika ingin baik, kami butuh sekitar Rp10 miliar. Ini akan sejalan untuk mewujudkan program Smart City atau Smart Desa,” tandasnya.
Padahal menurutnya, saat kondisi seperti sekarang, masyarakat membutuhkan akses internet yang cepat. Pihaknya pun menangkap keluhan dari masyarakat. Kesenjangan internet menjadi perbincangan saat momen pendaftaran online penerimaan peserta didik baru (PPDB). Dinas Pendidikan dibuat kerepotan dengan keluhan masyarakat. Ingin mendaftar tapi sulit karena jaringan internet lemah. Orang tua tetap saja harus datang ke sekolah, bertanya dan mendaftar langsung. Belum lagi masalah kesulitan ekonomi, orang tua tidak punya handphone dan tidak mampu membeli kuota internet.
Baca Juga:Ketua Fatayat NU: Wanita Harus Punya Daya Saing Tapi Jangan Lupa KodratnyaKader PKB Deklarasikan Subang Kita Hijau (SKH), Kang Maman: Ayo Hijaukan Subang!
“Kalau di tempat saya memang agak sulit, jaringan internet masih terbatas. Jadi kemarin juga waktu mendaftarkan anak, dikolektifkan saja melalui operator di SMP, paling datang ke SMA, untuk memastikan informasi tambahan,” keluh Rohana (51) warga Purwadadi, beberapa waktu lalu.
Hal itu disadari oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Subang. Hingga kini pihaknya tetap meminta pihak sekolah melakukan sistem pembelajaran daring. Tapi karena masalah tadi, terpaksa para guru harus menemui siswa secara terbatas. Dibuat kelompok-kelompok kecil lalu ditemui guru secara berkala. Sebagian lagi mengharuskan orang tua mengambil tugas siswa ke sekolah, lalu jawabannya dikumpulkan ke sekolah.