Oleh : Yusri Lubby Kamilah
Pada hari senin (05/10/20) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengetok palu dengan disahkannya Rancangan Undang Undang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Sebelumnya Omnibus Law pertama dicetuskan Presiden Joko Widodo pada Rembuk Nasional ke-3 tahun 2017, tepatnya pada tanggal 23 Oktober 2017, kemudian disampaikan lagi pasca pelantikan periode ke-2 tahun 2019-2024 tanggal 20 Oktober 2019 yang lalu. Kemudian RUU Ciptaker dirancang oleh DPR pada bulan juli hingga akhirnya di sahkan.
Berbagai persoalan muncul terkait RUU ini dari mulai masyarakat sepakat menolak disahkannya RUU tersebuti, mereka juga mendesak kepada DPR dan juga Jokowi untuk segera mencabut UU tersebut. Penolakan ini juga berlanjut dengan adanya demo yang berkepanjangan dari mulai para kaum buruh, Mahasiswa dari berbagai aliansi, para pelajar dan dari masyarakat daerah turun kejalan sebagai aksi menolak UU tersebut.
Diliihat dari yang telah dipublikasikan, memang RUU ini memuat substansi pengaturan yang jauh dari kepentingan rakyat , sebaliknya pro terhadap para pengusaha dan kurang melindungi pekerja. Kita dapat melihat pertimbangan dibuatnya regulasi ini lebih mengedepankan aspek keinginan kelompok pengusaha, dibandingkan memenuhi harapan dan kepentingan rakyat banyak. Selain RUU regulasi yang memuat pro terhadap pengusaha, ada isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat pun menjadi perbincangan. Alih-alih menjamin kelestraian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih investasi.
Baca Juga:Lingga Nugraha Nakhodai Wira Karya Indonesia Jawa BaratLibur Panjang, Pemkab dan MUI Purwakarta Keluarkan Edaran Prokes
Secara garis besar, UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (Katadata, 6/10/20)
Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi mengeluarkan rekomendasi izin apapun. Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat. Tim itu terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Keputusan ini akan menjadi syarat penerbitan perizinan berusaha dari pemerintah.