Sejak itulah karakter bangsa berangsur-angsur melemah, lamanya usia penjajahan dan melemahnya dakwah kepada Islam faktor penyebab utamanya. Terlebih setelah Indonesia merdeka negara ini mengambil demokrasi sebagai sistem politik dan kapitalisme sebagai sistem ekonominya. Keduanya semakin sukses membawa Indonesia makin terpuruk.
Apa yang disebutkan presiden Jokowi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan makin subur sebab telah menjadi gaya hidup. Hampir tak ada yang berpikiran bahwa birokrasi mudah, cepat, sederhana dan gratis adalah solusi terbaik bagi setiap persoalan kecuali mereka mengganggap pelayanan itu sebagai manfaat atau komoditas.
Hingga muncul Pomeo ” Tak ada makan siang gratis” ini menunjukkan seberapa parah mental rakyat negeri ini. Semua dihitung untung rugi, tak lagi bisa dibedakan mana yang kewajiban dan hak. Dimana fungsi negara sebagai pelayan atau negara sebagai pedagang.
Baca Juga:Tugas Ulama dalam Demokrasi : Bagai Api dalam SekamMenggandeng Influencer Milenial dengan Anggaran tidak Rasional
Kerusakan yang diakibatkan berkoalisinya demokrasi dan kapitalisme merembet tak hanya persoalan ekonomi, namun juga sosial kemasyarakatan, kriminal, ekonomi dan pendidikan. Artinya kerusakannya sudah taraf struktural. Dari penguasa hingga rakyat grass root. Lantas, mungkinkan sejahtera diraih jika terus dipertahankan?
Yang ada adalah kerusakan yang terus menerus, bahkan hingga tak lagi memanusiakan manusia, sebab jiwa yang fitrahnya suka kebaikan dirubah oleh sistem menjadi lebih jahat dari iblis. Maka perlu adanya revolusi mental yang hakiki, yaitu merubah mindset secara benar dan menyeluruh.
Bahwa kita manusia fitrahnya adalah diatur oleh sang Pencipta. Itu harus menjadi dasar pemikiran setiap orang, sehingga bisa menempatkan segala hal pada tempatnya. Terlebih bagi seorang Muslim, menerima rasuah (suap) adalah hal yang haram, terlebih karena ia pejabat.
Rasulullah saw bersabda, “Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat).” (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, “Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat).” (HR Thabrani dan Baihaqi).
Hal ini karena ada petugas pengumpul zakat yang datang kepada Rasulullah kemudian memberikan sesuatu kepada Rasulullah seraya berkata, ini hadiah untuk paduka dan yang ini hadiah untukku”. Rasulullah sangat marah melihat hal itu, hingga berkata” Apakah jika kau sedang duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu hadiah itu akan datang?”.