Oleh: Alfi Dwi Yuliyanto
Mahasiswa smt 5 Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Di penghujung tahun tepatnya pada tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari (HAM) Hak Asasi Manusia Internasional. Hari Hak Asasi Manusia Internasioanal lahir sebagai penghormatan terhadap individu. Setiap orang memiliki kedudukan, hak, dan kesempatan yang sama dalam setiap hal. Indonesia menanggung beban pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang sangat berat dalam sejarahnya.
Pelanggaran HAM terbesar dan belum ada titik terang sampai sekarang salah satunya ialah Tragedi 65, dimana tragedi 65 bisa dibilang sebuah konflik politik dan kekuasaan yang menyebabkan jatuhnya korban dikalangan masyarakat sipil yang dibunuh di luar proses hukum, ditangkap dan ditahan sewenang-wenang tanpa proses peradilan, disiksa, diperkosa hingga kehilangan harta benda bahkan nyawa. Ribuan orang dipisahkan secara paksa dari keluarganya dan harus hidup membisu akibat ketakutan dan trauma, termasuk dalam relasi sendi sosial kehidupannya.
Hal ini dikuatkan pula dalam peraturan-peraturan diskriminatif serta kebijakan negara yang menstigmatisasi korban. Negara secara terang terangan telah melakukan pelembagaan kekerasan terhadap warganya. Sudah 55 tahun berlalu, belum terkuak kebenaran formil terhadap peristiwa ini.
Baca Juga:Anti Jlimet, Integrasikan Pelayanan PublikKodim 0619 Maknai Hari Juang TNI AD
Sementara korban yang semakin tua masih saja memperjuangkan hak untuk keadilan dan rehabilitasi. Menurut pencarian fakta dan data yang dilakukan oleh Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menyatakan jumlah korban tragedi 65 berkisar antara 500.000 hingga 2.000.000 jiwa.
Dan pelaku utama yang menjalankan semua perlakuan keji tersebut tidak lain adalah negara sendiri. Sarwo Edhie yang saat itu menjabat sebagai Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) secara terang-terangan mengatakan “ Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil anti-komunis membantu pekerjaan ini… kami melatih mereka dua atau tiga hari lalu mengirim mereka untuk membunuh orang-orang komunis”.
Setelah setengah abad lebih, pada 18-19 April 2016 terselenggarakan Simposium Tragedi 65, simposium ini tak ubahnya bagaikan setitik cahaya terang dalam gelap gulitanya tragedi 65, karena Simposium Nasional 1965 ini sebenarnya semacam upaya terakhir untuk mencoba menyelesaikan peristiwa 65. Inilah pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, sebuah simposium nasional tentang 1965 diadakan oleh pemerintah.