Apa yang didapat dari simposium ini? Adalah dialog dan pertemuan terbuka tentang peristiwa 65 yang sebelumnya selalu mendapat gangguan atau pembubaran. Dialog dan diskusi terbuka inilah yang sebenarnya sangat berharga dari simposium resmi yang dijalankan pemerintah ini. Dari simposium ini terlihat kembalinya harapan bagi penyelesaian segera atas peristiwa 65 oleh pemerintah.
Terutama tuntutan dasar para penyintas/korban 65, adalah Rehabilitasi Umum atas status kewarganegaraan mereka yang sampai saat ini tetap didiskriminasi dan dicurigai. Penyintas yang umurnya rata-rata sudah 70-80 tahun ini hanya berharap di sisa-sisa usianya, mereka bisa kembali menjadi warga Negara yang penuh, yang normal; dipulihkannya harkat dan martabat mereka sebagai manusia merdeka, tanpa diskriminasi. Inilah harapan sederhana mereka, sehingga mereka bisa meneruskan kehidupannya bersama anak cucunya sebagai warga negara biasa kembali. Setahun setelah simposium pada awal tahun 2017 Menkopolhukam Wiranto membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Namun cahaya itu nampaknya mulai redup sebab pemerintah tidak dengan serius dan mengambil tindak lanjut lebih terhadap hal tersebut.
Negara sudah saatnya bersikap serius untuk Meminta maaf dan mengakui pelanggaran HAM yang dialami oleh korban 1965 melalui sebuah kebijakan resmi
Baca Juga:Anti Jlimet, Integrasikan Pelayanan PublikKodim 0619 Maknai Hari Juang TNI AD
[1] Hughes, Indonesia Upheaval, h. 132. Kedutaan Besar Amerika Serikat menyampaikan laporan dalam bentuk telegram ke Washington bahwa Angkatan Darat, atas perintah Soeharto dan Nasution, ‘mendorong kelompok-kelompok agama mengambil tindakan politik yang akan didukung Angkatan Darat,’ Kedutaan Besar AS kepada Departemen Luar Negeri, 9 Oktober 1965. Dalam telegram lain dilaporkan : ‘Di Jawa Tengah, Angkatan Darat (RPKAD) melatih kelompok pemuda islam dan memberi senjata, serta akan mengirim mereka untuk menghadapi PKI.
negara, memulihkan martabat dan hak-hak korban 1965 dengan membatalkan berbagai peraturan diskriminatif, membuka dialog publik berkaitan monumen dan peringatan yang mendiskriminasi korban, mendesain dan melaksanakan sebuah program reparasi untuk korban yang sesuai dengan pemenuhan hak-hak korban. Membentuk sebuah tim pencari fakta untuk meluruskan sejarah dan kebenaran berkaitan dengan tragedi 1965; mandat, acuan maupun anggota tim harus dikonsultasikan dengan korban dan melibatkan partisipasi publik. Segera menyusun temuan fakta telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, menyebarluaskan hasil kajian dan penyelidikannya seluas-luasnya, dan merekomendasikan penyidikan pelanggaran HAM Berat pada Kejaksaan Agung sebagai tindak lanjut.