Literasi religi yang dimaksud adalah mulai mempelajari kembali agama sebagai dasar pijakan dalam hidup yang selama ini mungkin nilai-nilainya sudah mulai mengendur tergilas arus informasi yang begitu deras sehingga kita lupa untuk merenung tentang arti kehidupan ini. Membaca kitab suci dengan artinya secara bersama-sama antara orang tua dan anak, menggali kisah-kisah yang terdapat di dalamnya, mempelajari kisah orang-orang shalih di masa lalu, perjuangan para pahlawan dalam menghadapi beragam ujian hidup.
Beribadah dan berdoa bersama-sama walaupun di rumah juga akan memberikan efek yang berbeda jika itu dilakukan masing-masing. Anak akan memiliki teladan dan gambarabn tentang orang tua nya, bahwa mereka tetap kuat menjalani hidup yang mungkin semakin sulit. Literasi religi ini jika mulai kembali dihidupkan dalam keluarga, sedikit banyak akan memberikan kesadaran pada diri, bahwa kita manusia yang diciptakan dengan beragam perangkat untuk mengelola bumi ini, ternyata harus tak berkutik saat mahluk yang bernama covid-19 menghampiri.
Kesadaran ini mungkin akan berdampak pada sebuah sikap untuk tidak merasa sombong sebagai manusia dan merasakan kehebatan Sang Maha Pencipta, sehingga hidup pun akan merasa tenang dan pasrah, ibarat kapal di tengah lautan yang sedang menghadapi gelombang. Setelah literasi religi ini dilakukan dengan intensitas yang rutin bersama orang tua, karena kompetensi inti yang ada dalam kurikulum selama pandemi tak bisa dipantau olah guru, maka diharapkan anak-anak memiliki bekal yang cukup untuk mereka melakukan literasi teknologi.
Baca Juga:KOMODOKu Sasaran Kantung KapitalisKlaster Jumbo Mengintai Pilkada Serentak
Literasi teknologi tak lagi menjadi sebuah hal yang asing. Gawai, yang semula dilarang penggunaanya di beberapa sekolah, sejak pandemi menjadi sebuah hal “wajib” yang harus dimiliki karena pembelajaran dilakukan secara daring, walaupun secara peraturan ada daring ada semi daring karena ada perbedaan baik secara akses internet maupun ekonomi masyarakat di beberapa wilayah. Kita tahu bahwa teknologi memberikan efek baik positif maupun negatif kepada anak-anak. Berselancar di dunia maya ibarat kita memasuki hutan belantara beragam informasi. Anak akan tersesat di hutan belantara tersebut jika tidak memiliki peralatan untuk melaluinya. Kita bisa lihat di berbagai media perilaku anak yang menyimpang akibat penggunaan gawai ini.