Memainkan wayang dari rumput memerlukan imajinasi lebih tinggi. Misalnya: untuk membedakan tokoh Gatotkaca dengan Werkudara hanya dilihat dari besar kecilnya wayang-rumput. Dan suara percakapannya nanti. Bahkan untuk sosok raksasa tidak bisa lagi dibuat dari rumput. Kami menggunakan saja daun kluwih. Daunnya lebar dan panjang. Tangkai daunnya kuat, bisa dipegang untuk memainkannya.
Rupanya Mas Parno tahu, di balik teguran-teguran saya itu saya sendiri penggemar wayang kulit. Dulu saya punya ratusan kaset wayang kulit dengan dalang Ki Narto Sabdo.
Pernah, saya, tiap malam harus setir mobil sendirian Surabaya-Magetan. Berhari-hari. Ketika ayah saya sakit. Narto Sabdo-lah yang menemani saya sepanjang perjalanan. Pulang-pergi.
Mas Parno kemarin dimakamkan di desa kebanggaannya itu. Umurnya 62 tahun.
Baca Juga:Menanti Eksistensi dan Kontribusi ICMI400 Hektare Sawah Siap Panen Terendam
Saya sebut ”kebanggaan” karena Mas Parno sering sekali bercerita tentang kampungnya itu.
Wayanglah yang membuat Mas Parno tidak stres mengurus begitu banyak perusahaan. Wayanglah yang juga membuat gaya hidup Mas Parno tetap seperti Punokawan –jauh dari penampilan seorang bos besar.
Jangankan jas. Sepatu pun ia amat jarang memakai. Selalu saja ia bersandal. Dengan baju lusuh yang tidak pernah dimasukkan celana. Bahkan saya sudah lupa tahun berapa melihatnya bersepatu. Mungkin waktu sama-sama keliling Eropa dulu. Lebih 15 tahun yang lalu.
Mas Parno juga jarang mau pidato. Semua masalah ia selesaikan dengan kerja. Dengan contoh. Dengan hubungan pribadi yang seperti keluarga dengan para direkturnya.
Mungkin itu karena Mas Parno sudah sering menjadi raja. Di berbagai negara: Amarta, Astina, Wirata…
Dan semua raja itu kok hidupnya hanya di sekitar konflik. Kalau tidak membunuh ya dibunuh. Di mana asyiknya.
Mas Parno memilih hidup seperti di padepokan Karangkedempel saja. Tempat para Punokawan hidup dengan sederhana dan apa adanya. (*)