Oleh : Ummu Raisya
(Ibu Rumah Tangga dan Santriah Ma’had Khodimussunnah Bandung Program Ummahat)
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah usai digelar. Rakyat menanti hasil lahirnya para kepala daerah yang baru dan menyimpan harapan baru. Apalagi dalam situasi pandemi, rakyat tengah mengalami keterpurukan ekonomi. Berharap akan terjadi berkurangnya kemiskinan, terbuka lebarnya lapangan kerja, harga kebutuhan pokok terjangkau, biaya pendidikan dan kesehatan bisa murah. Intinya dari semua harapan tersebut adalah rakyat bisa meraih kesejahteraan dalam kehidupannya.
Pertanyaannya, akankah harapan tersebut terwujud untuk rakyat? Tampaknya tidak ada yang bisa memberikan jaminan. Harapan boleh setinggi langit. Namun tak salahnya, jika bercermin dari yang pernah teralami sebelumnya.
Baca Juga:Tahun Depan, Pembelian Pupuk Dibatasi 225 Kg per Hektare(E-Paper) Pasundan 16 Desember 2020
Acapkali rakyat hanya disapa saat Pemilu. Kandidat melakukan berbagai cara untuk menarik hati masyarakat. Bahkan sesuatu yang sudah jelas dilarang, seperti politik uang pun kerap kali terjadi. Demi apa? Hal itu dilakukan untuk meraih suara rakyat terbanyak dan terpilih menjadi pemenang.
Sebagaimana diberitakan dari laman ayobandung.com (Rabu, 2/12/2020), bahwa adanya dugaan politik uang dalam Pilkada Kabupaten Bandung dengan modus membagikan kupon bergambar salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Bandung. Kupon tersebut bernilai sebesar Rp35.000 bisa digunakan untuk berbelanja di warung-warung yang telah ditentukan. Bahkan kupon tersebut beredar di 4 (empat) kecamatan.
Selain kupon, ada juga modus yang dilakukan dengan membagi-bagikan berupa bingkisan dan stiker pasangan calon yang dilengkapi dengan uang sebesar Rp100.000. (jurnalsoreang, Rabu, 2/11/2020).
Siapa yang tidak tergiur, di saat rakyat tengah dihimpit kesusahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, tiba-tiba datang bantuan tak terduga mengatasnamakn calon terpilih.
Sebenarnya, politik uang jelang Pilpres atau Pilkada bukanlah hal yang aneh terjadi di negeri ini hingga tak mengherankan jika negeri ini pernah mendapat julukan The Envelope Country, segala sesuatu bisa dibeli. Segalanya bisa lancar asalkan ada ‘amplop’. Inilah salah satu yang membuat kandidat berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye demi suksesnya pagelaran pilkada.
Disadari atau tidak modal politik yang tinggi ini akan membuka celah negatif berkembang. Pemenang Pilkada akan berfikir keras bagaimana mengembalikan modal kampanye apalagi jika modal tersebut berupa pinjaman dari pihak lain atau mendapat sokongan dari para pengusaha besar. Tentu, dana yang diberikan bukan tanpa kepentingan. No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Lalu, apa kabar nasib rakyat yang sudah memilihnya?