Konsepsi yang menyejarah tersebut, melahirkan sila pertama berbunyi “Ketuhanan” bukan “Tuhan Yang Maha Esa”, tapi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Seperti pidato Soekarno terkait tawaran dasar negara harus berdasarkan “Ketuhanan” yang berkebudayaan.
Kenapa “Ketuhanan” bukan “Tuhan” Yang Maha Esa?
Secara antropologi manusia memiliki keterhubungan dengan Tuhan. Karena keterhubungannya tersebut, maka manusia, secara teologi membutuhkan Tuhan. Seperti yang disabdakan para sufi “siapa yang mengetahui dirinya, maka dia mengetahui tuhannya”. Karena konsep ketuhanan sangat beragam. Pendekatan kepada Tuhan juga memiliki banyak jalan dan cara. Pengikuti Tasawuf melakukan tarekat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Antropologi mencari tuhan dengan memelajari sejarah agama-agama. Filsuf dengan cara perenungan akan eksistensi Tuhan hingga melahirkan nihilisme eksistensi tuhan atau atheis, karena kelelahan pikirannya yang tidak sampai kepada konsepsi Tuhan.
Maka kitab suci yang dimiliki agama menjadi katalisator atau tempat kembali sekaligus menjadi koridor untuk berdamai antara logika dan keimanan. Agamalah yang dapat “menekuk”-istilah yang saya pinjam dari diskusi dengan seorang teman, keliaran logika pikiran. Agama dengan kitab sucinya memiliki daya “tekuk” agar pikiran memiliki kode etik dalam mencari tuhan. Kode etik tersebut adalah “iman” itu sendiri. Kesalahan kita adalah pikiran kita sudah “menekuk” lebih dahulu sebelum melakukan pencarian, karena rasa takut salah dan dicap sesat. Ketakutan tersebut menyebabkan kejumudan berpikir.
Baca Juga:PJT II Panen Raya Bersama dengan Satgas Citarum HarumGedung Kebudayaan Rp 6 Miliar di Ranggawulung Subang Mangkrak
Konsep ketuhanan yang menyejarah tersebut diikat dalam istilah “Maha Esa”. Kata “maha” ini menunjukkan konsep tuhan yang tak bisa diselesaikan oleh akal pikiran belaka. Iman memberikan bimbingan kepada konsepsi ketuhanan yang menyejarah tersebut. Sementara kata “Esa” bukan menunjukkan bilangan numerik. Namun kemanunggalan antara manusia dengan tuhan, antara tuhan dengan alam raya, dan antara sesama manusia.
Manusia akan kehilangan kesejatian dirinya ketika melepaskan diri dari kemanunggalan dengan tuhan. Kemanunggalan manusia dengan tuhan (keyakinan) tersebut akan terlihat dalam perilaku etik manusia. Ketika manusia meyakini ketuhanan yang dianutnya, maka semua perilaku sosialnya akan dihubungkan dengan perangkat keyakinan kepada tuhannya.
Sebagai contoh, ketika manusia memaksimalkan potensi alam raya dengan serakah, maka bencana akan hadir sebagai balasan. Ini menunjukkan konsepsi pengelolaan alam raya tidak lepas dari konsepsi kemanunggalan manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam raya. Kerusakan alam raya akibat keserakahan menunjukkan terputusnya kesejatian diri manusia dari konsepsi ketuhanan yang diimaninya. Dibuktikan dengan firman Allah dalam kitab suci: “telah nampak kerusakan dimuka bumi akibat keserakahan ulah tangan manusia”. Alam raya tidak lepas dari Tuhan. Jika lepas maka alam akan dieksploitasi karena menggap alam tidak terhubung dengan Tuhan. Inilah pentingnya konsep hifz bi’ah -menjaga alam raya/lingkungan dari segala kerusakan, sebagai kemanunggalan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam.