Begitu pula dengan Hong Kong melalui Hong Kong Monetary Authority Investment Portofolio dan Korea Selatan dengan Korea Investment Corporation.
Mengapa SWF menggiurkan? Singkatnya SWF merupakan pengelolaan investasi yang berasal dari kelebihan kekayaan negara atau sering disebut sebagai dana abadi. Dari sisi sumber dana, SWF bisa berasal dari kekayaan negara yang terbagi atas dua bentuk.
Pertama, dari sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui seperti minyak, gas, dan mineral. Kedua, dari aset keuangan yang diinvestasikan, misalnya saham, surat utang atau obligasi, logam mulia, dan instrumen lain.
Baca Juga:AASC Karawang Matangkan Mental BertandingPenanggulangan Dampak Covid-19 di Bidang Pendidikan dan Edukasi Masyarakat Melalui KKN Tematik PPD
Kita perlu memahami fakta dana abadi ini lebih mendalam lagi, sebab sekalipun mendatangkan manfaat yang besar program inipun berbahaya. Sebab mengandung celah munculnya neokolonialisme dan neoimperialisme. Gaya penjajahan baru yang tak lagi menggunakan senjata namun menggunakan mal ( harta) yang diresmikan melalui perjanjian.
Secara logika mana ada negara yang begitu saja bersedia menginvestasikan dana abadinya tanpa ada imbal balik. Apalagi yang bisa diberikan Indonesia selain ia memang kekurangan dana? Tentu saja sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusialah yang dimiliki secara berlimpah.
Mekanisme pembiayaan inilah yang tidak syar’i, selain dilakukan dengan sembarang negara bahkan negara yang nyata-nyata memusuhi kaum Muslimpun boleh memberikan dana abadinya dalam proyek investasi ILP ini. Ini akan menimbulkan celah penjajahan atau setidaknya penguasaan kedaulatan atas negara Indonesia. Belumlah cukup bukti bagaimana tunduknya Indonesia dengan syarat-syarat yang diajukan IMF atau World Bank setiap kali menteri ekonomi menambah utang luar negerinya?
Indonesia hampir-hampir kelu tak berdaya dihadapan kedua lembaga keuangan internasional itu, apalagi nanti ditambah otoritas dana abadi yang digadang akan lebih independen karena diawasi oleh tiga Mentri dan kalangan profesional, sekaligus dilaporkan secara rutin kepada presiden. Sejengkal demi sejengkal investor mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, demikian pula dengan perjanjian keji semacam Freeport dan lain-lain.
Jika begini faktanya, mungkinkah akan menyentuh kesejahteraan umat? Sebab syahwat pemerintah mengerjakan infrastruktur tak berkorelasi dengan apa yang dibutuhkan rakyat secara hakiki, seperti kesehatan, papan, sandang, pangan, pendidikan dan keamanan. Sebab meskipun kelak dana abadi itu sudah berjalan, pajak yang dikenakan kepada rakyat tak berkurang samasekali, bahkan tak ada wacana untuk dihentikan. Bukankah ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula?