Rianny Puspitasari
(Ibu Rumah Tangga dan Pendidik)
“Prihatin, 70 orang calon kepala daerah terinveksi Covid19, 4 orang diantaranya meninggal dunia. 100 orang penyelenggara termasuk ketua KPU RI terinfeksi. Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi. Perketat protokol kesehatan. Semoga wabah ini cepat berlalu.” (Hamdan Zoelva)
Demikianlah isi cuitan mantan Ketua MK Hamdan Zoelva. Ironis. Itulah yang pertama kali terbersit di benak kala melihat isi twitter yang ditulis oleh beliau. Tentu kita pun berduka dengan kabar terinfeksinya sejumlah calon kepala daerah dan penyelenggara pemilihan, bahkan ada yang meninggal. Namun, di sisi lain muncul pertanyaan ironi: layakkah pengorbanan besar ini demi demokrasi?
Kita ketahui bahwa pilkada tetap keukeuh digelar meski di tengah pandemi. Padahal resiko terbentuknya cluster baru begitu besar. Hal ini menjadikan aroma kepentingan politik kekuasaan begitu tercium pekat. Bagaimana tidak? Betapa egoisnya penguasa hanya memikirkan kepentingan mereka tanpa mempertimbangkan keselamatan rakyat. Padahal seandainya pilkada ditunda sekalipun, hal ini tidak akan sampai membahayakan nyawa rakyat. Sebaliknya, dengan digelarnya pilkada yang membutuhkan dana lebih besar di tengah pandemi ini, justru taruhan meluasnya penyebaran virus Covid 19 dan korban yang terinfeksi lebih banyak akan semakin terbuka lebar.
Baca Juga:Demokrasi di Tengah Pandemi, Dimanakah Hati Nurani?Apa Solusi Tuntas bagi Kemiskinan Massal?
Jika dikatakan ini adalah pengorbanan besar untuk demokrasi, rasanya terlalu naif. Demokrasi yang selama ini menghasilkan pemimpin yang tidak amanah dan terbukti abai juga egois terhadap rakyat, rasa-rasanya tidak layak mendapatkan pengorbanan nyawa rakyat. Pemerintahan yang dihasilkan pun nantinya dikhawatirkan adalah pemerintahan yang tidak peduli pada rakyat dan menduduki jabatan hanya untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompoknya. Kekhawatiran ini tentu tidak tanpa alasan, hal ini terlihat dari proses pemilihannya yang sudah abai terhadap keselamatan jiwa manusia demi kursi yang akan diduduki oleh penguasa.
Inilah wajah demokrasi yang sesungguhnya. Slogan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” hanyalah iklan penarik yang mengelabui, karena yang terselubung di baliknya adalah rakyat yang mana? Bukan rakyat kebanyakan, tapi adalah sebagian kelompok pemilik modal (kapitalis). Hal ini sejalan dengan ideologi yang mendasarinya yaitu kapitalisme. Dimana pemilik modal-lah yang berkuasa—baik langsung ataupun melalui agennya—untuk mengamankan sumber-sumber pundi penghasilannya, meski harus mengorbankan rakyat. Landasan salah inilah yang menjadi penyebab demokrasi tidak layak untuk mendapatkan pengorbananan besar.