Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)
Bertubi-tubi. Perlakuan zalim menyambangi FPI (Front Pembela Islam. Imam besarnya dikriminalisasi, 6 laskarnya ditembak mati, disusul dengan pembubaran ormas ini, yang dikenal gagah berani. Lantang dalam menyuarakan kebenaran juga sigap terjun sebagai relawan kemanusiaan saat bencana alam datang.
Ternyata kepedihan yang dihadapi belum berakhir sampai di situ. Selepas diopinikan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah, lewat pernyataan Idham Aziz selaku Kapolri, telah memberikan imbauan kepada masyarakat mengenai larangan mendukung, membuat, dan menyebarkan konten tentang FPI baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Segala kegiatan maupun atribut yang berhubungan dengan FPI pun kini dinyatakan ilegal. Bahkan Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan beserta pihaknya telah melakukan monitoring terkait pelaksanaan kegiatan FPI di Kabupaten Bandung. Terkesan sigap dalam menyikapi FPI (potensi-bisnis-pikiran-rakyat/1/1/2020).
Serangkaian sikap aparatur dalam menindak FPI telah menunjukkan arogansi. Begitu Cepat tanggap pada pihak yang dinilai berseberangan dengan pemangku kekuasaan. Sayangnya begitu lembek terhadap separatis yang jelas memberontak dan memerdekakan tanah Papua. Negara juga tampak tak serius menghukumi para pelaku korupsi yang terbukti menggelapkan dana bantuan sosial di masa pandemi.
Baca Juga:Mengatasi Stunting dalam Sistem Demokrasi, Ibarat Mimpi KosongAktivitas Belajar Mahasiswa di Kampus Merdeka di Tengah Pandemi Selama Pembelajaran Daring
Sungguh ironi sosok pemerintahan di negeri ini. Seharusnya negara hadir untuk menegakkan hukum bagi rakyatnya, bukan memamerkan kekuasaan untuk melakukan kezaliman. Pembubaran ormas bisa dengan by pass tanpa adanya proses persidangan. Tiba-tiba tanpa bukti bersalah, ormas ini dibuat musnah. Diperlakukan sebagaimana pihak yang mengancam sampai mesti diberlakukan pengawasan terhadap kegiatannya.
Kini dapat ditebak sudah bahwa pertimbangan dalam UU 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perppu 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang dalam rangka melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, semua itu adalah alat penguasa untuk memukul pihak yang berseberangan. Tafsir tunggal ada pada rezim yang berkuasa.
Walaupun demikian, tindakan sewenang-wenang tersebut akan semakin membukakan kesadaran masyarakat. Inilah potret buram penguasa. Hadirnya pemimpin bukan sebagai pengurus rakyat dan pelindung, tapi justru tampil sebagai tangan besi. Siapa berani melawan untuk mengkritisi, jangan heran riwayatnya segera dihabisi.