Nira Syamil
Pemerhati Sosial
Tahun 2020 ditutup dengan catatan kelam tentang buruh perempuan. Bukan hanya kasus buruh perempuan di pabrik eskrim yang tak mendapat perhatian atas kondisi kesehatannya, di perkebunan sawit kondisi buruh perempuan bahkan lebih mengenaskan.
Para buruh perempuan di kebun sawit bekerja dalam kondisi tak aman, beban kerja begitu berat, perlakuan diskriminatif, kekerasan fisik, sampai kekerasan seksual. Para buruh perempuan ini banyak mengalami eksploitasi dalam industri sawit. Musdalifah Jamal, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri mengatakan, seringkali pelaku kekerasan ataupun intimidasi buruh perempuan adalah mereka yang memiliki kuasa, dengan berbagai pola dan cara. Banyak pekerja migran melapor ke SPAM ini mengalami pelecehan seksual dengan pelaku mandor atau keluarga terdekat. (www.mongabay.co.id/2020/12/22)
Kondisi buruh perempuan dirangkum oleh WRI dalam buku BALADA BURUH PEREMPUAN, Bertahan hidup di desa atau tahan hidup di kota. Berbagai permasalahan itu antara lain; fasilitas kamar mandi/WC tidak memenuhi standar kesehatan, buruh tidak mendapat perlindungan dari perusahaan, penghitungan upah lembur tidak transparan, cuti hamil sering dipermasalahkan, aparatur perusahaan menganggap pelecehan seksual sebagai hal sepele hingga tidak tersedia fasilitas memadai untuk buruh yang hamil.
Baca Juga:Kacang Kedelai Naik MelejitRumah Lapuk yang Ditempati oleh Empat Orang Yatim Piatu Di Karawang Roboh
(Women Research Institute, BALADA BURUH PEREMPUAN, Bertahan hidup di desa atau tahan hidup di kota 2008 .)
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap buruh sawit, katanya, karena relasi kuasa timpang, kelas ekonomi menengah ke bawah, iming-iming kehidupan lebih baik, dan belum ada aturan yang menjamin perlidungan dan pemenuhan hak buruh perempuan migran. Nyata bahwa faktor-faktor yang disebutkan di atas terus terjadi selama tahun-tahun didorongnya perempuan memasuki dunia industri dengan iming-iming kehidupan lebih baik. Para aktivis gender seperti Nursyahbani Katjasungkana dan Lies Marcoes-Natsir menjelaskan, meskipun kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan di depan hukum dijamin oleh konstitusi, realitas sosialnya sangat berbeda. Menurut Lies pembagian peran jender yang ketat karena konstruksi budaya yang berbaur dengan agama dan kapitalisme menyebabkan ketimpangan relasi kuasa antara perempuan sebagai individu, sebagai ibu, istri, dan anak perempuan terus berlangsung. (https://vgsiahaya.wordpress.com/)