Ini juga menjadi salah satu indikasi kuat adanya pelemahan peran mahasiswa sebagai kalangan muda-kritis yang biasanya selalu diharapkan menjadi agen perubahan dan penyampai aspirasi yang mewakili masyarakat.
Sementara itu, RUU yang terakhir telah memicu perlawanan terutama dari kalangan buruh. Kehadiran ketiga UU/RUU kontroversial itu pada banyak aspeknya jelas tidak aspiratif. Ketiganya tampak jelas lebih mengakomodir kepentingan para oligarki.
Ketiga kebijakan itu juga sarat dengan upaya melakukan sentralisasi kekuasaan dan intervensi negara, sehingga ruang publik (bahkan privat) maupun kewenangan pemerintahan daerah menjadi tereduksi. Tidak itu saja, upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi dalam pengawasan ketat pemerintah. Padahal pengawasan ketat semacam itu adalah sebuah bencana untuk pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi berskala masif.
Baca Juga:Menikmati Sate Tutut Mang Cepot di Pinggir SawahLionel Messi Mustahil ke PSG
Terbukti KPK mengalami pelambatan dalam soal operasi tangkap tangan (OTT). Di atas itu semua, tidak saja para koruptor yang merasa lebih nyaman dalam melakukan aksinya, tetapi juga para oligarki menjadi semakin sulit dibendung. RUU Omnibus Law jelas akan lebih menguntungkan pengusaha asing, pemerintah, dan pengusaha lokal yang dalam bekerjanya saling berkelindan dan tak tersentuh (untouchable), yang akhirnya berpotensi terus memproduksi oligarki baru di tanah air.
Kemudian dengan adanya pemilu yang diselenggarakan pada 9 desember kemarin menjadi sebuah pukulan besar bagi kondisi kesehatan masyarakat indonesia, karena dengan adanya pemilu telah memperbanyak ruang atau telah menjadi cluster baru bagi penyebaran virus corona.
Di Banten, satuan tugas penanganan Covid-19 menyebut Cluster pilkada terjadi di empat wilayah yang melaksanakan pesta demokrasi, yaitu Kabupaten Serang, Tangerang Selatan, Cilegon, dan Pandeglang. Kemudian di Purbalingga, Jawa Tengah, pasangan calon, tim sukses, hingga petugas pemilu terpapar virus corona.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia menyebut salah satu penyebab terciptanya cluster pilkada yaitu akibat lemahnya penelusuran kontak yang dilakukan di tengah perhelatan pesta demokrasi yang memicu kerumunan massa.
Namun pemerintah berkata lain dengan kasus-kasus yang terjadi pada pilkada tersebut, seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang mengklaim pelaksanaan pilkada serentak 2020 di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, pada 9 Desember 2020 lalu berjalan lancar. Mahfud mengatakan penyelenggaraan pilkada di masa pandemi tidak memunculkan Cluster baru Covid-19.