Oleh : Maddu Madani
Negara Indonesia dikenal oleh dunia sebagai Negara Agraria, hal tersebut bukan tanpa alasan karena masyarakat Indonesia yang memiliki budaya bertani dari zaman dulu, bukti bahwa negara Indonesia dikenal sebagai negara agraria adalah dengan adanya ketertarikan negara luar untuk datang ke negara Indonesia karena memiliki hasil pertanian berupa rempah-rempah yang melimpah pada zaman penjajahan. Julukan sebagai negara agraria masih melekat sampai sekarang dengan negara Indonesia masuk ke dalam jajaran 5 besar negara eksportir pertanian terbaik di dunia. Badan karantina Kementan mencatat tanggal 1-28 April 2020, volume ekspor produk pertanian mencapai 1,4 juta ton dengan nilai Rp 25,7 triliun. Hal tersebut membuat kegiatan eksport bidang pertanian Indonesia menyumbang pendapatan negara yang cukup tinggi. Pemerintah memproyeksikan kegiatan eksport di bidang pertanian di tahun 2024 akan mengalami peningkatan yang cukup tinggi dengan rencana program pemerintah di sektor pertanian, salah satu program pemerintah adalah pembuatan food estate di beberapa wilayah di Indonesia.
Program food estate bukan kali pertama direncanakan oleh pemerintah Indonesia, tahun 1995 ketika negara Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto memiliki rencana pengembangan pembuatan food estate di lahan gambut Kalimantan Tengah (Kalteng), proyek tersebut diberi nama Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar. Proyek yang direncanakan mengembangkan lahan gambut seluas 1,4 juta hektar yang diharapkan dapat menjadi penyangga pasokan beras nasional, menyusul terjadinya penyusutan lahan pertanian yang terjadi di pulau jawa di tahun 1995. Program tersebut mengakibatkan terjadinya aktivitas pengundulan lahan gambut seluas 1,45 juta hektar.
Sebelum adanya megaproyek PLG sejuta hektar lahan tersebut sebagian digunakan oleh masyarakat adat dayak untuk bertanam karet untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu warga suku dayak bernama rusnadi berpendapat bahwa masyarakat adat suku dayak mendukung megaproyek tersebut karena melihat peluang terhadap kehidupan yang lebih baik untuk anak cucu mereka karena kepemilikan lahan pada megaproyek tersebut yang dimiliki oleh masyarakat. Akan tetapi megaproyek tersebut tentangan dari sejumlah akademis, akademisi berpendapt bahwa lahan seluas 1,4 juta hektar tersebut tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk lahan pertanian baik pangan dan perkebunan selain itu hasil dari Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) regional PLG sejuta hektar memiliki dampak yang cukup merugikan.