Oleh : Ummu Raisya
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah
Siapa yang tidak mendamba memiliki keluarga yang ideal? Keluarga yang diselimuti suasana saling asah, asih, asuh, penuh sinergi, kokoh berketahanan, meski ada terpaan riak ombak atau debutan badai yang menghantam. Setiap orang tentu mendambakannya. Akan tetapi, untuk mewujudkan keluarga ideal di era sekarang ini, bukanlah perkara yang mudah.
Hal ini ditunjukkan oleh semakin tingginya angka kegagalan keluarga yang terjadi di Indonesia. Menurut data Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) pada 2019 mencatat, hakim di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama telah memutus perceraian sebanyak 485.223 pasangan di seluruh Indonesia. Artinya, dalam kurun satu tahun ada sekitar setengah juta keluarga yang mengalami kegagalan dalam berumah tangga.
Selain itu, indikator kegagalan keluarga juga tercermin dari meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga dari waktu ke waktu. Orang tua yang menganiaya hingga membunuh anak atau sebaliknya kerap terjadi. Meningginya tingkat stres yang dialami suami dan istri dikarenakan beratnya menanggung beban hidup, kian mengancam keharmonisan dalam keluarga. Akhirnya, mendamba keluarga ideal, bagai pungguk merindukan bulan, sulit terwujudkan.
Baca Juga:Katana Dan Destana, Senjata Ampuh Pengurangan Risiko BencanaPeran Informasi Spasial Dalam Meminimalisir Dampak Bencana
Wajar, jika akhirnya beberapa pihak menaruh perhatian serius terhadap persoalan keluarga. Karena mewujudkan keluarga yang ideal, berkualitas merupakan bagian integral dari pembangunan suatu bangsa. Akan tetapi, model keluarga ideal seperti apa yang hendak diwujudkan di bangsa ini?
Satu tahun lalu, negeri mayoritas Muslim ini pernah terjadi sebuah perdebatan publik tentang draft RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK). Tujuan RUU yang tertuang dalam pasal 4 salah satunya mengoptimalkan fungsi keluarga dalam mendidik, mengasuh, membina tumbuh kembang, menanamkan nilai religius dan moral serta membentuk kepribadian dan karakter anak. Menurut penggagasnya, RUU ini disusun sebagai respon atas banyaknya angka kegagalan keluarga yang terjadi di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menyadari di tengah meningkatnya persoalan keluarga dibutuhkan agama sebagai benteng pertahanan. Namun sayang, di tengah upaya perbaikan kondisi keluarga tersebut, muncul para penentang RUU KK dengan jargon ‘haramnya negara mencampuri urusan privat’. Hakikatnya yang mereka gugat adalah masuknya norma agama sebagai sumber kebijakan. Semakin terang, arus sekuler liberal begitu massif mensterilkan urusan kehidupan dari peran agama, termasuk dalam kehidupan keluarga.