Kata, Sukarja, Titim mulai terakhir manggung sekitar tahun 1980-an. Memasuki tahun 1980-an, ia tak produktif lagi. Tidak seperti ketika tahun 1958-1970-an. Namun meski begitu, ia tetap menyandang sebagai sinden ternama ketika itu.
“Sampai sekarang, menurut bapak belum ada yang seperti Titim,” ujarnya.
Buah dari profesinya sebagai sinden, ia pun membuka perusahaan Taxi di Jakarta pada tahun 1980-an. Usahanya itu kini sudah tidak ada, karena tidak ada yang meneruskan.
Memasuki usia 57 pada tahun 1993, ia menderita sakit tulang punggung. Ia berjuang melawan sakitnya itu. “Bapak sakit, tidak kuat,” itulah yang sempat almarhum Titim sampaikan ke Sukarja.
Meski menderita sakit punggung, pada tahun 1994 ia menunaikan ibadah haji. Selang satu tahun, sang Maestro Sinden itu tutup usia pada tahun 1995 di rumahnya di Kramat Santiong, Jakarta Barat. Ia dimakamkan di kampung halamannya, Desa Jalancagak Kecamatan Jalancagak.
Baca Juga:Dinamika Selat Malaka dan Potensi Bagi IndonesiaIndonesia Dengan 1000 Ancaman Bencananya
Baik Hadijah maupun Sukarja, tidak tahu persis berapa banyaknya lagu yang dibuat dan dinyanyikan Titim Fatimah. Pasalnya ia tak memiliki arsip atau peninggalan Titim. Karena peninggalan seperti kaset dan barang Titim hilang dibawa oleh maling.
“Yang ada sekarang hanya foto-fotonya saja,” ujarnya.
Ketika itu pihak keluarga berharap agar ada perhatian dari Pemkab Subang. Keluarga mengusulkan agar makam Titim dijadikan situs budaya. Karena sampai saat ini dijadikan tempat ziarah oleh sejumlah orang, termasuk sinden.
Sebelumnya, pada saat Bupati Subang Rohimat sempat mengatakan akan dibuat situs. Namun sampai sekarang belum terealisasi. “Pas Bupati Pak Rohimat akan dibuatkan situs, sampai sekarang belum,” ujar Sukarja.
Pihak keuarga juga berharap agar di Subang muncul Titim Fatimah selanjutnya. Titim Fatimah memang tidak memiliki keturunan, sehingga harapan besar yakni pada generasi saat ini dan selanjutnya ada orang Subang yang mampu seperti Titim Fatimah.
Sementara itu, untuk menghargai karya beliau, pemerintah ketika itu dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarno Putri memberikan penghargaan Setya Lencana Kebudayaan melalui Bupati Subang pada 23 Februari 2003.