Maraknya alih fungsi lahan, ditengarai oleh masyarakat sekitar sebagai pemercepat terjadinya banjir, salah satunya adalah pertambangan di bagian atas atau daerah hulu. Kearifan lokal masyarakat, dalam bersikap terhadap penggunaan lahan terutama masyarakat Kendeng Utara akhirnya menjadikan suatu aksi keprihatin. Banyak seruan aksi warga di wilayah pegunungan Kendeng Utara yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK):
“banjir bukan takdir”,
“jangan salahkan curah hujan tinggi”
“batalkan rencana pembangunan pabrik semen di pegunungan kendeng”
Masyarakat menyuarakan bahwa banjir bukan serta-merta karena takdir maupun akibat dari curah hujan yang tinggi, namun karena ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan maupun kelestarian alam, bumi ini.
Baca Juga:Diduga Urusan Asmara Perempuan di Binong Disiram Air Keras di Wajahnya, Pelaku Diamankan Reskrim Polres SubangJadwal Pemadaman Listrik Besok, Kamis 21 Januari 2021, Cek Lokasinya di Sini
Oknum-oknum itu ialah manusia yang tidak pernah memperhitungkan rezeki generasi-generasi selanjutnya, mereka terlampau rakus, pikirannya hanya bagaimana caranya bisa mengisi perut-perut lapar mereka, dompet-dompet pribadi, atau untuk mengusahakan kehidupan mewah dan megah mereka. Gunung-gunung diratakan untuk pertambangan, hutan-hutan dialih gunakan untuk perkebunan, serta pembangunan-pembangunan yang tidak terlalu perlu dengan mengatas namakan rakyat.
Tinjauan dari sisi ilmu manajemen bencana tentang seruan keprihatinan masyarakat kendang utara sangat menarik untuk dikaji. Keberadaan air di bumi ini, siklus hidrologi merupakan suatu suatu kepastian. Air akan menjadi kawan atau lawan berupa ancaman bahaya kiranya dapat dimitigasikan. Kesungguhan untuk memajemen risiko bencana dengan cara mengelola kerentanan dan peningkatan kapasitas pemerintahan dan komunitas.
Menurut organisasi Forest Watch Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2020 lalu, tepat 75 tahun negara ini merdeka, Indonesia telah kehilangan hutan (deforestasi) seluas lebih dari 23 juta hektar hutan atau setara dengan tujuh puluh lima kali luas priovinsi Yogyakarta.
Deforestasi disini dapat terjadi karena berbagai penyebab, seperti kebakaran hutan (pembakaran juga bisa), pembukaan lahan untuk perkebunan, pemukiman, atau pertambangan. Padahal hutan merupakan aset negara yang sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan generasi mendatang, Indonesia sendiri dikenal dengan hutannya yang sangat luas hingga mendapat julukan salah satu negara sebagai paru-paru dunia, selain menghasilkan oksigen hutan juga berperan penting sebagai penahan air hujan agar tidak mengenai tanah secara langsung, dengan demikian erosi yang ditimbulkan oleh air hujan dapat dikurangi serta menjadi penampung air sementara agar air hujan tidak langsung menuju hilir dengan cepat.