“Pada masanya nanti, Cicih Rukesih akan menjadi sinden ternama di Jawa Barat,” demikian keyakinan yang disampaikan kakek Cicih, Dalang Carma pada tahun 1960.
Intuisi Carma ternyata benar, nama Cicih sepuluh tahun kemudian tenar. Bahkan karena suaranya yang khas, Cicih mendapat gelar Cicih “Cangkurileung”. Melebihi dugaan Carma, Cicih kemudian mendapat penghargaan hingga tingkat internasional. Namanya harum hingga sekarang, mendapat gelar maestro sinden.
[premium]
Di puncak ketenarannya di tahun 1970 hingga 1980-an, Cicih dengan grup yang ia bentuk yaitu Wayang Golek Mitra Kencana banjir orderan manggung. Satu bulan bisa penuh manggung setiap hari. Melebihi ketenaran grup wayang kulit kakeknya. Tidak hanya di Subang, Cicih manggung ke berbagai daerah di Jawa Barat dan kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Tenar di kalangan masyarakat bawah hingga pejabat tinggi pemerintah.
Baca Juga:Top! SD Islam Plus Al Madani Punya Program 4 Rumah, Dijamin Orang Tua Pasti PuasBupati Ingatkan Waspada Cukong Pelabuhan Patimban
Tak heran, di akhir hayatnya pada 2012 lalu, masyarakat, para pejabat hingga media mengiringi pemakamannya. Merasa kehilangan sosok maestro sinden yang telah mengharumkan nama Subang dan Jawa Barat hingga tingkat internasional. Hingga kini, makamnya masih didatangi peziarah dari kalangan seniman Subang.
Berbakat sejak Kecil
Di tahun 1960-an, belum ada sanggar seni dan lembaga pelatihan seperti saat ini. Maka, Cicih pun dari sejak anak-anak belajar olah vokal sinden ke kakeknya, Carma yang menjadi dalang wayang kulit. Darah seniman mengalir deras di sosok Cicih. Berbeda dengan saudaranya, Min Sujana yang kemudian lebih memilih menjadi pegawai di perkebunan PTPN.
“Dulu Cicih bareng saya itu kakek kalau manggung. Memang bakat jadi sinden sudah terlihat,” kenang Min kepada Pasundan Ekspres, Minggu 22 April 2017 lalu.
Kemudian Cicih berani mengikuti berbagai perlombaan (pasanggiri). Sebab, Carma melihat Cicih punya bakat yang menonjol. Benar saja, pada usia 11 tahun, ia sudah berhasil memenangkan pasanggiri tingkat Karesidenan Purwakarta tahun 1961.
Hebatnya, selama 4 tahun berturut-turut, hingga tahun 1964, Cicih selalu juara. Talenta Cicih memukau juri. Seorang juri, seniman asal Bandung, Mang Koko kemudian memberikan julukan “Cangkurileung” untuk Cicih. Sejak saat itu, anak Edi Suhaedi itu lebih tenar dengan nama Cicih “Cangkurileung”. Pada zamannya, Cangkurileung adalah nama burung yang suaranya merdu dan mahal harganya.